10 Tahun Reformasi: Berhenti di Jalan Buntu?

10 Tahun Reformasi: Berhenti di Jalan Buntu?
Photo by Unsplash.com

Reformasi telah berlalu 10 tahun berbarengan dengan peringatan Kebangkitan Nasional. Masihkah tersisa spirit reformasi dan nasionalisme yang rasional?

Badai krisis finansial melanda Asia mulai dari Korea, lalu Thailand, Filipina, dan berhenti di Indonesia. Pergerakan rupiah yang semula ada pada kisaran Rp 2.500,00-an per dolar AS sedikit demi sedikit melorot, bahkan pernah hampir mencapai Rp 20.000 per dolar AS. Krisis moneter yang tak tertanggulangi itu akhirnya menjadi krisis ekonomi makro bahkan menjadi krisis multidimensi yang sangat membebani kehidupan rakyat karena harga-harga kebutuhan menjadi sangat tinggi dan PHK menjadi tren. Harga kebutuhan melangit. Sembako langka karena penimbunan. Rakyat marah. Protes dan tuntutan pembubaran pemerintahan Soeharto saat itu makin kencang terdengar. Jakarta dan kota-kota besar dilanda demonstrasi.

Memasuki 1998, aksi mahasiswa makin menggila ketika hasil Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (SU-MPR) 11 Maret 1998 menetapkan kembali Soeharto sebagai Presiden RI untuk yang ketujuh kalinya. Mahasiswa pun mulai turun ke jalan dengan meneriakkan tuntutan, selain untuk menurunkan harga, agar Soeharto dan kroni-kroninya lengser dari kekuasaan.

Di tengah keterpurukan rakyat dan menipisnya kepercayaan kepada pemerintah, Soeharto mengambil langkah yang sangat tidak menguntungkan dengan menaikkan harga BBM dan Tarif Dasar Listrik pada 4 Mei 1998. Tentu saja hal ini mendapat tentangan besar-besaran terutama dari masyarakat dan mahasiswa.

Aksi mahasiswa yang menggila dan merata di seluruh perguruan tinggi di Indonesia diperparah dengan adanya tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti. Kejadian ini diikuti dengan terjadinya kerusuhan luar biasa di Jakarta dan beberapa kota lain, yang dikenal dengan Kerusuhan Mei pada 13-14 Mei 1998.

Kerusuhan yang berupa penjarahan, pembakaran, dan penghancuran bangunan itu mengakibatkan ratusan, bahkan sebagian kalangan menyebut ribuan, orang tewas terpanggang. Pemerintah menyatakan kerugian akibat kerusuhan tersebut mencapai Rp 2,5 triliun dengan 1.026 rumah, 1.604 toko, 383 kantor swasta, 65 kantor bank, 45 bengkel, 40 pusat perbelanjaan, 13 pasar, 12 hotel, 24 restoran, 11 taman, 9 pompa bensin, 11 pos polisi, 1.119 mobil, 821 sepeda motor, 8 bus dan 486 lampu lalu lintas dirusak dan dibakar massa.

Setelah berbagai kejadian, termasuk permintaan “ajaib” pimpinan DPR RI Harmoko dan kawan-kawan, agar Soeharto mengundurkan diri serta diiringi mundurnya 14 menteri pada 20 Mei, maka pada 21 Mei 1998, hal yang semula tak pernah dibayangkan kebanyakan manusia Indonesia menjadi kenyataan: Soeharto mengundurkan diri. Ini disambut gegap-gempita mahasiswa yang menduduki Gedung MPR/DPR sejak 18 Mei 1998.

Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas ke hampir seluruh Indonesia. Akhirnya Soeharto memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya dan digantikan oleh wakilnya, BJ Habibie. Era Reformasi pun dimulai sejak itu.

Habibie menjalin kerja sama dengan Dana Moneter Internasional untuk membantu proses pemulihan ekonomi. Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi. Salah satu keputusan terpenting Habibie adalah mengizinkan berlangsungnya referendum Timor Timur yang berakhir dengan berpisahnya wilayah tersebut dari NKRI pada Oktober 1999.

Meski terbukti mampu mengatrol nilai rupiah hingga Rp 6000 per dolar dan mengubah gaya kepemimpinan menjadi egaliter dan demokratis, pidato pertanggung jawaban lelaki jenius dan relijius asal Pare-Pare ini ditolak mayoritas DPR, terutama PDI-P.

Pemilu diselenggarakan pada 1999. PDI-P pimpinan Megawati Soekarnoputri berhasil meraih suara terbanyak (sekitar 35%). Namun karena jabatan presiden masih dipilih oleh MPR saat itu, Megawati tidak secara langsung menjadi presiden. Abdurrahman Wahid, pemimpin PKB, salah satu partai besar saat itu, kemudian terpilih sebagai presiden Indonesia ke-4. Hasil ini juga diperoleh berkat lobi politik Amien Rais, Akbar Tanjung, dan sejumlah tokoh yang bergabung dalam koalisi ‘arus tengah’. Megawati sendiri dipilih Gus Dur sebagai wakil presiden.

Masa pemerintahan Gus Dur diwarnai dengan gerakan-gerakan separatisme yang makin kencang di Aceh, Maluku, dan Papua. Selain itu, banyak kebijakan Gus Dur yang ditentang mayoritas anggota parlemen di MPR/DPR.

Pada 29 Januari 2001, ribuan demonstran berkumpul di Gedung MPR dan meminta Gus Dur untuk mengundurkan diri dengan tuduhan korupsi. Gus Dur mengeluarkan dekrit tetapi tak seorang pun menggubrisnya, termasuk TNI. Sebaliknya, para menteri dan tokoh politik justru makin gigih menentangnya. Di bawah tekanan yang besar, sang kyai pelindung kaum minoritas itu pun dimakzulkan MPR, dan kekuasaan pun berpindah tangan kepada sang wakil, Megawati Soekarnoputri.

Melalui Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001, Megawati secara resmi diumumkan menjadi Presiden Indonesia ke-5. Megawati dilantik di tengah harapan akan mampu membawa perubahan bagi Indonesia karena merupakan putri presiden pertama Indonesia, Soekarno.

Meskipun ekonomi Indonesia mengalami banyak perbaikan, seperti nilai tukar rupiah yang lebih stabil, Indonesia pada masa Mega tetap tidak menunjukkan perubahan yang berarti dalam banyak bidang. Popularitas Megawati yang awalnya tinggi di mata masyarakat Indonesia menurun seiring dengan waktu. Hal ini ditambah dengan sikapnya yang jarang berkomunikasi dengan masyarakat sehingga membuatnya dianggap sebagai pemimpin yang ‘dingin’.

Namun, Megawati sendiri menganggap dirinya berhasil memulihkan ekonomi Indonesia, dan pada 2004, maju dalam Pemilu 2004 sebagai incumbent.

Pada 2004, Indonesia menyelenggarakan pemilu presiden secara langsung untuk yang pertama kalinya. Ujian berat dihadapi Megawati untuk membuktikan bahwa dirinya masih bisa dipercaya mayoritas penduduk Indonesia. Dalam Pemilu 2004, seorang calon dari partai baru, Partai Demokrat, yang juga bekas menteri kabinet Mega, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), muncul sebagai saingan terberat baginya.

Partai Demokrat yang sebelumnya kurang dikenal menarik perhatian masyarakat melalui figur SBY yang karismatik dan menjanjikan perubahan. Karisma SBY berhasil menarik hati mayoritas pemilih dan SBY pun tampil sebagai presiden ke-6.

Sejak menjadi presiden hingga kini, SBY telah melakukan sejumlah blunder politik sehingga popularitasnya pun menukik tajam. Gerakan politik anti-SBY mulai meluas. ‘Arogansi santun’ SBY mulai menghasilkan soliditas dan solidaritas para penentangnya. Inilah pemerintahan yang didirikan atas dasar ‘balas budi’ dan ‘dagang sapi’.

Tumbangnya rezim Orba tidaklah berarti bahwa rezim Orba sudah habis. Wacana reformasi yang kerap didengungkan sejak jatuhnya rezim Orba hingga sekarang tidaklah lantas memberikan hasil yang positif bagi rakyat banyak. Wacana reformasi kini cuma menjadi retorika semata dan lagu lama yang setiap hari dinyanyikan tetapi tidak jelas arah dan tujuan yang ingin dicapainya. Reformasi kini telah menemui jalan buntu.

Kini di tahun 2008 keadaan seakan tidak makin membaik. Disentralisasi yang semula diharapkan menciptakan keseimbangan dan kem,erataan, malah melahirkan raja-=raja kecil dan membiakkan mafia-mafia lokal. Akibat instabilitas Timur Tengah yang diobok-obok Amerika, harga minyak dunia melambung. Sebagai nagara eks-eksportir minyak, setelah dijarah minyaknya dan sumber alam lainnya oleh para koruptor dan penyelundup di negeri jiran, Indonesia menjadi korban. Patokan harga berdasarskan kalkulasi dan predikasi APBN meleset. Beban subsidi minyak untuk rakyat menjadi gila. Pemerintah gusar. Mau tidak mau, harga BBM dinaikkan. Harga bahan pokok meroket. Rakyat marah, dan istana pun diserbu. Pro kontra mengemuka. Kemana arah bangsa ini?

Read more