Skip to main content

Bertolak dari hukum eksistensi, hukum kausalitas dan hukum gradualitas eksistensi, bisa dipastikan bahwa segala sesuatu dalam realitas eksternal dan realitas mental, yang eksisistensinya terbatas dan kapulatif memerlukan pasangan niscaya. Segala sesuatu yang terbatas memerlukan mitra mutual yang berperan sebagai penegak eksistensinya, seperti atas-bawah, siang-malam dan sebagainya, sedemikian rupa sehingga keduanya “bekerjasama” saling mengisi ruang kosong eksistensinya masing-masing.

“Wa min kulli syai’in khalaqna zaujain” (Kami ciptakan segala sesuatu berpasangan) adalah ayat muhkam yang mengkonfirmasi fakta harmoni kosmik ini.

Salah satu isu yang sering kali menjadi bahan diskusi dan polemik adalah relasi agama – budaya. Inilah isu yang akhir-akhir menyita perhatian kita, karena kedudukannya yang istimewa.

Agama sebagai sesuatu yang mewakili langit berpasangan dengan budaya sebagai sesuatu yang bersemayam diatas altar bumi.

Menolak budaya sebagai pasangan agama adalah absurd dan agama sebagai mitra budaya adalah nhil.

“Islam Nusantara” atau “Islam Indonesia” adalah ide yang memposisikan agama yang universal berpasangan dengan Nusantara atau Indonesia yang partikular/lokal. “Islam Nusantara” tidak mereduksi agama yang universal, transenden, abstrak dan tidak memperlakukan budaya lokal sebagai sesuatu yang universal.

Secara kebahasaan, “Nusantara Islam” atau “Islam Indonesia” lebih tepat dari “Islam Nusantara” dan “Islam Indonesia”, karena dalam jargon tersebut, “Nusantara” berposisi sebagai “subjek” dan “Islam” berposisi sebagai predikat dan kata ejektif (yang bersifat Islam atau Islami atau Islamic).