Skip to main content

Semula muncul kontroversi dalam forum-forum terbatas tentang syarat kemusliman bagi pemimpin yang mencuat karena posisi gubernur DKI dipegang seorang Kristen. Sebagian menolaknya karena bepegang pada penafsiran terhadap ayat 51 dalam surah almaidah. Sebagian lain tidak berkeberatan. Pihak yang tidak menolak posisi gubernur dijabat oleh non muslim beralasan bahwa makna “wali” dalam bahasa agama berbeda dengan pengertian “pemimpin” dalam bahasa umum. Sebagian lain menerima pemimpin non Muslim karena membedakan “kafir” dengan “non Muslim”. Ada pula yang menolak sosok tertentu sebagai gubernur, bukan karena alasan-alasan teologis, namun karena sosok tersebut diyakini melakukan pelanggaran moral dan hukum terkait penggusuran dan langkah-langkahnya yang dianggap sebagai kezaliman. Ada pula yang menolaknya karena alasan sikap dan gaya kepemimpinannya yang dinilai arogan, kasar dan urakan. Alhasil, sosok gubernur DKI pengganti Jokowi ini menjadi pusat perhatian dan kontroversi.

Sosok yang menjadi objek penolakan itu merasa keberatan terhadap penolakan itu dengan alasan perbedaan keyakinan dengan dasar konstitusi. Karena sedang bersiap mengikuti pilgub, dia merasa perlu meyakinkan para calon pemilih untuk konsisten dengan konstitusi seraya membantah isu “pemimpin kafir” yang bersumber dari pihak yang menolak pencalonannya.

Nah, dari sini, kontroversi berganti topik. Bantahan verbal dan spontan gubernur non Muslim ini justru menjadi blunder dan amunisi bagi pihak yang sejak semula menolaknya karena alasan teologis. Sosok itu dianggap melakukan penodaan agama karena a) menganggap ayat suci sebagai sarana untuk membohongi, b) mengutip dan menafsirkan ayat suci agama yang tidak dianutnya, c) mendiskreditkan ulama. Video yang memuat bantahan sang gubernur diblow up. Selanjutnya masyarakat pun mengkonsumsinya dengan ragam penafsiran serta sikap.

Terlepas dari fakta yang akan terungkap dalam sidang pengadilan terkait ucapan gubernur tersebut sebagai penodaan agama atau tidak, mungkin ada baiknya kita melihat persoalan dari perspektif logika.

Terhadap premis mayor “penodaan agama harus dihukum” setiap orang berakal pasti setuju. Ini bukan sesuatu yang layak diperdebatkan.

Perdebatan dan silang pendapat terjadi saat salah satu pihak membentuk premis minor berupa “Mengucapkan kalimat “dibohongi pakai ayat 51 surah almaidah” adalah penodaan agama”.

Menolak premis minor atau proposisi kedua tidak bisa divonis sebagai menolak premis mayor atau proposisi pertama.

Penolak proposisi kedua mempertanyakan relasi niscaya antara “penodaan agama” dan “pengucapan “dibohongi pakai surah almaidah ayat 51”.

Sebagian pihak yang memastikan relasi niscaya antara dua premis tersebut diatas keburu mencap penolak premis kedua sebagai penolak premis pertama alias “tidak membela agamanya yang dinodai”.

Karena pihak penolak premis kedua tidak diberi hak untuk berbeda dalam menentukan sikap dan hak memberikan klarifikasi ilmiah, dan pihak yang memastikan fakta mengucapkan “dibohongi pakai ayat 51 surah almaidah sebagai “penodaan agama” keburu mengajak masyarakat umum mengambil kesimpulan yang mereka ambil, maka masyarakat yang tidak punya kemampuan mendiskusikan relasi antar dua premis itu pun memastikan premis kesimpulan itu sebagai valid alias koheren dengan fakta. Maka merebaklah premis kesimpulan itu dan menjadi doktrin masif.

Belum tuntas soal validitas relasi dua premis diatas, pihak pendukung premis itu, memunculkan premis minor kedua sebagai proposisi pertama alias premis mayor “pengucapan ‘dibohongi pakai ayat 51 surah almaidah adalah penodaan agama” lalu dibentuk premis kedua “pegucapan ‘dibohongi pakai ayat 51 surah almaidah harus dihukum.’ Lagi-lagi premis kesimpulan ini keburu disebarkan ke awam yang terlanjur terdoktrin dengan premis “si fulan adalah pelaku penodaan agama”.

Hal lain yang perlu diperhatikan ialah bahwa isu “penodaan agama” terkait dengan ucapan seseorang yang tersangka bukan masalah agama, tapi masalah bahasa dengan aneka displin ilmu di dalamnya, terutama bahasa Indonesia.

Isu dan fakta ini tidak terkait secara langsung dengan hukum fikih tentang keharaman “menodai agama”. Hal itu karena premis hukum keharaman penodaan agama sudah bisa dianggap final.

Masalahnya tidak selesai dengan kesepakatan ini. Isu ini terkait dengan verifikasi dan penentuan spesifik terhadap sebuah tindakan verbal atau ucapan; apakah dianggap sebagai “penodaan agama atau tidak”. Hukum fikih senantiasa bersifat general. Identifikasi dan penerapannya bersifat partikular dan personal. Karena itu, subjek tersangka tidak bisa serta merta ditetapkan sebagai pelaku penodaan agama dengan dasar premis hukum yang general itu.

Kini persoalannya makin rumit. Terjadi pergeseran isu dari “apa” ke “siapa”. Orang-orang yang masih bertahan dengan penolakan atas tuduhan “mengucapkan ‘dibohongi pakai ayat 51 almaidah adalah penodaan agama” diberi stigma sebagai pendukung pelaku penodaan agama. Orang-orang yang ingin bersikap independen dan hanya fokus terhadap “apa” seolah terseret atau didorong masuk arena dikotomi “siapa”. Inilah yang menjadi sumber polemik di semua front, dari sosmed hingga pangkalan-pangkalan ojek depan gang.

Secara umum, menurut saya, agama di sisi Tuhan suci selamanya. Ia tidak akan pernah ternoda.