Skip to main content

Sebagian orang yang mendukung “Aksi Bela Islam” mengkritik teman-temannya yang mendukung pihak yang dianggap sebagai korban diskriminasi atas nama agama (yang saat ini diadili atas tuduhan penistaan agama), karena menurut mereka, pihak yang dianggap korban adalah bagian dari lingkaran kezaliman sosial atau kekerasan struktural atas nama pembangunan.

Dasar logika anggapan ini layak dipertanyakan. Para pengkritik itu mungkin menganggap kezaliman struktural lebih berbahaya dari kezaliman sektarian atau menganggap dua macam kezaliman itu tidak saling berhubungan. Benarkah?

Sektarianisme dan fanatisme adalah pembelokan dari ketidakadilan sosial. Karena tujuannya adalah pembelokan, ia tidak akan mendekati solusi atas probema sosial. Artinya, kita mestinya tidak menutup mata terhadap kelompok-kelompok intoleran dengan alasan simpati kepada perjuangan untuk merealisasikan keadilan sosial.

Menentang sektarianisme dan gerakan intoleransi berbungkus agama adalah bagian dari perjuangan melawan ketidakadilan sosial. Terbukti korupsi identik dengan relijiusitas intoleran. Hakim MK, yang tertangkap tangan melakukan korupsi dan menerima suap dari pengusaha rakus adalah salah satu penganjur intoleransi. Sebelumnya adalah noda korupsi yang melumuri Kementerian Agama, lalu kasus investasi bodong yang dilakukan para agamawan penganjur penyesatan.

Menurut DR. Airlangga Pribadi, benteng perlindungan paling aman bagi kalangan elit politik dari sasaran kritik orang-orang yang memperjuangkan keadilan sosial adalah menyuarakan, mengarahkan dan membiayai gerakan intoleransi dan fasisme reljius.

Menurutnya, dengan cara itu, mereka dapat mengklaim diri sebagai bagian dari umat, sekaligus membelokkan agenda otentik agenda perjuangan umat. Dengan kata lain, keadilan sosial hanya tumbuh diatas tanah yang inklusif dan toleran.

Singkatnya, menentang politisasi “penodaan agama” tak berarti mendukung penggusuran yang tidak sesuai dengan rasa keadilan.