Skip to main content

Banyak orang menyebut tahun 2007 adalah “tahun horor”. Sebagian mengaitkannya dengan menjamurnya film-film horor yang diduga kuat sebagi karya-karya jiplakan negara lain. Tapi, bagi sebagian orang, termasuk saya, karena banyaknya aksi kezaliman yang dilakukan atas nama agama dan aliran agama.

Isu ‘aliran sesat’ seakan mengubah karakter bangsa yang dikenal santun dan pemaaf ini, menjadi bringas, brutal dan anarkis akibat ulah segelintir orang yang menjadi monster-monster berlagak ‘bodyguard kebenaran’. Beragam ormas jadi-jadian muncul dan kelompok paramiliter atas nama jamaah majelis taklim dengan memprovokasi massa merenggut hak sipil sesama warga negara dengan membakar, merusak dan melemparkan tuduhan sesat dan murtad.

Sejarah pemikiran keislaman di Indonesia ditandai oleh munculnya berbagai ketegangan kreatif antara dua corak pemikiran yang sangat berbeda, yaitu antara kalangan simbolis, atau sering juga disebut skripturalis, dan kalangan substansialis. Corak pemikiran skripturalis biasanya bersifat normatif, bertumpu semata-mata pada teks yang dijadikan sebagai pedoman baku, serta kurang memiliki tempat bagi upaya penafsiran baru atas teks-teks tersebut. Acap kali, corak pemikiran demikian menutup rapat pintu dialog untuk mengembangkan wacana pemikiran alternatif serta kurang toleran terhadap perbedaan pendapat karena terkungkung oleh nilai-nilai normatif yang menjadi pegangannya. Corak pemikiran ini lebih mengutamakan dimensi formal dan simbol. Oleh karena itu, tidak heran bila ekspresi pemikiran keislamannya cenderung mementingkan label dibanding substansi, kemasan jauh lebih diutamakan ketimbang isi.

Ide negara Islam dan khilafah Islamiyah telah mengembangkan imajinasi politik yang legalistik dan formalistik. Campurtangan pemerintah dalam penyelesaian persoalan agama telah menimbulkan kesangsian sebagian kelompok minoritas terhadap komitmen kebangsaan. Bila dibiarkan, maka kesatuan dan persatuan akan menjadi kata yang tak bermakna, dan pada gilirannya, negara dan bangsa ini akan menghadapi masa depan yang suram.

Wajah Indonesia bukan hanya Islam, tetapi juga Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghuchu, dan bahkan aliran kebatinan. Wajah Islam Indonesia bukan hanya wajah Sunni, NU dan Muhammadiyah. Dalam perspektif realitas sosial tersebut, masing-masing kelompok agama seyogyanya tidak saling menghegemoni, apalagi memaksakan kehendak atas nama agama dan aliran agama tertentu.

Harus diakui bahwa aksi-aksi peusakan terhadap pemukiman dan tempat ibadah Ahmadiyah dan kelompok-kelompok minoritas lain yang secara sepihak dianggap sesat sepanjang 2007 telah melumuri wajah Indonesia yang dengan citra kesadisan.

Semoga 2008 fragmen-fragmen menjijikkan itu tidak terulang lagi. Terlalu banyak agenda yang harus dikedepankan, seperti peningkatan ekonomi menjelang pasar bebas dan penguatan semangat memiliki dalam visi nasionalisme yang rasional dan demokratis.

Semoga di tahun 2008 aparat keamanan dan pemerintah tidak memble dan memainkan standar ganda. Semoga citra positif bangsa Indonesia kembali benderang di muka bumi.

Jayalah Indonesiaku. Selamat tahun baru.