Skip to main content

BIBIR MOLEK

Saya mendapatkan email dari seorang wanita yang mengeluhkan kondisi fisiknya, dan karena itu ia menjadi ‘terlupakan’. Ia bahkan sempat mempertanyakan konsep keadilan ilahi, mengapa ada yang merasa cantik dan ada yang dianggap ‘tidak cantik’ (untuk tidak menyebutnya jelek); dan mengapa kecantikan tidak dipahami sebagai sesuatu yang relatif?Apakah Karena divonis tidak cantik, seorang wanita harus rela menjajakan diri dan mencari pria bahkan sebagai istri kedua?

Konsep physical beauty atau outer beauty adalah salah satu produk andalan yang dijejalkan oleh sentra-sentra kapitalisme sebagai sesuatu yang ideal. Ia mengkampanyekan bahwa keindahan hanyalah keindahan kulit, rambut, bulu mata, kuku, dada dan segala yang perlu perlu parfum dan aneka penyegar agar tak menjadi bangkai berjalan.

Beauty adalah citra yang telah dibentuk oleh media, bahwa cantik itu mesti berkulit putih, berpostur tinggi, badan langsing, rambut lurus. Para pemuja daging dan pemburu puji pun rela menginjak malu dan membuang keangggunan depan kamera dan monitor demi mengais like dan penggemar.

Kita tak akan menyaksikan di atas panggung berdiri seorang wanita bewarna kulit gelap, atau berbadan tambun, atau berpostur pendek. Tak akan pernah. Padahal, sejatinya, kategori cantik yang ada saat ini adalah hasil konstruksi media, konstruksi global, yang tentu ada motifnya. Apa motifnya? Tentu motif yang paling kasat mata adalah: uang.

Para industrialis global ingin menjual kream pemutih untuk kulit, obat pelangsing untuk badan, pelurus rambut dan seterusnya. Padahal, pada zaman abad pertengahan, yang terkategori cantik adalah wanita bertumbuh semok, gemuk. Kita lihat dalam lukisan Monalisa, Nefertiti, Cleopatra, dan para istri-istri Firaun di Mesir.

Perempuan masa kini, karena persaingan yang makin ketat, terobsesi “menggunakan” daya tarik fisik sebagai akses menuju sukses. Kita tentu sering mendengar dan membaca iklan lowongan kerja yang memarginalkan inner beauty dan mengutamakan outer beauty. ‘Berpenampilan menarik’ merupakan salah satu item terpenting dalam persyaratan. Kasarnya, yang tidak cantik dipersilahkan jadi buruh pabrik atau isteri kedua. Sedangkan syarat IPK dan pengalaman kerja itu bisa diatur selama telah memenuhi syarat ‘penampilan menarik’. Apa mau dikata? Pelanggan dan pembeli memang males nawar dan langsung membeli produk bila SPGnya seksi, cantik dan rada agresif dan kreatif (genit dan tahu maunya bos, maksudnya), apalagi biasanya mitra bisnis minta entertain yang ujung-ujungnya begituan sebagai pertanda deal.

Pandangan hidup kapitalisme menilai persoalan kecantikan ini dari sisi uang dan manfaat. Industri alat-alat kecantikan, kosmetika, fesyen, dan bisnis operasi plastik di dunia Barat didukung oleh perusahaan-perusahaan besar yang memiliki aset jutaan dollar. Demikian pula industri majalah, yang mengiklankan produk-produk tersebut dan mendongkrak citra penampilan perempuan.

Karenanya, segala macam upaya mempercantik diri yang dilakukan kaum perempuan harus tetap dipertahankan agar perusahaan-perusahaan tersebut terus mendapatkan keuntungannya. Berbagai citra dan cita-cita tak wajar harus terus dipelihara, semata-mata demi menggenjot laba perusahaan seiring dengan semakin besarnya dana yang dikeluarkan kaum perempuan untuk mendapatkan bentuk penampilan fisik yang diinginkan, yang terus berubah dari waktu ke waktu.

Naomi Wolf menyatakan dalam bukunya “The Beauty Myth”, “Perekonomian yang bergantung pada perbudakan harus mampu menampilkan citra budak yang dapat “melegitimasi” lembaga perbudakan itu sendiri.”

Kapitalisme berhasil membujuk perempuan dengan cara-cara seperti ini, dan standar kecantikan “langsing dan cantik” mengglobal seperti yang dicitrakan iklan industri kecantikan. Kapitalisme dan erotisme telah berbaur dalam sebuah sistem yang tak kenal kompromi; “Kecantikan adalah jalan menuju sukses.” Akibatnya, perempuan yang mempunyai citra seperti itulah yang lebih beruntung, dan yang tak memenuhi standar tersebut terpuruk, tidak percaya diri, dan melakukan berbagai usaha untuk tampil langsing dan cantik.

Tak sedikit perempuan menderita gangguan psikiatrik yang dinamakan dismorfik tubuh (body dysmorphicdisorder). Mereka mempunyai preokupasi begitu kuat terhadap tubuh dan penampilannya. Sedikit saja ada kekurangan, kuku yang kaki yang terkesan ‘salah letak’, mereka bisa khawatir secara berlebihan, bahkan secara bermakna mempengaruhi perasaan dan fungsi sosial, pekerjaan dan fungsi penting lainnya.

Padahal dalam pandangan agama, kecantikan perempuan tidak terletak pada pakaian yang dikenakan, bukan pada kehalusan wajah dan bentuk tubuhnya …. tetapi pada matanya; cara dia memandang dunia, karena di matanyalah terletak gerbang menuju ke setiap hati manusia, di mana cinta dapat berkembang.”

Pada mulanya setiap wanita itu cantik sampai dia menganggap wanita lain tak cantik atau merasa dirinya cantik.

Dalam makna primernya, cantik adalah atribut kualitatif bagi perangkat lunak, jiwa yang terus mengalami transubstansi menuju keabadian, bukan sifat bagi daging, tulang, kulit, otot dan semua perangkat keras yang rusak bila tak dirawat dan membusuk bila tak dibersihkan dan ditaburi pewangi.

Tak ada yang perlu meyakinkanmu bahwa kamu cantik dan tak perlu menunggu konfirmasi siapapun karena kecantikan kualitatif terpancar dari perilaku, tutur dan sikap yang diarahkan oleh pusat nalar.

Cantik tanpa kosmetik adalah sifat bagi jiwa. Cantik dengan kosmetik adalah sifat bagi bungkus berpori, berpeluh, dan berkerut; kulit.

Memuliakan sosok perempuan hanya karena kecantikan paras dan raganya berarti menganggapnya seonggok daging tanpa jiwa.

Bibir molek adalah bibir yang mengeluarkan kata-kata kebaikan kepada setiap orang.

Mata indah adalah mata yang senantiasa mengucurkan derai dalam rapatan mistik dan tak henti mencari kebaikan dan kelebihan orang lain.

Tubuh ideal adalah tubuh yang membungkus jiwa yang senantiasa berbagi makanan dengan orang yang lapar dan susah.

Rambut elok adalah rambut yang menghiasi kepala manusia yang selalu tunduk saat menyapa orang lain.

Tangan yang bagus adalah yang tak pernah malas menyapa dan memberikan pertolongan.

Kaki yang mempesona adalah yang selalu diayunkan untuk merapatkan diri kepada Tuhan melalui pengabdian dan penghambaanJari yang lentik adalah yang terus bergerak untuk menghitung kesalahan dan menghitung karunia Tuhan.

Kulit mulus adalah pemungkus jiwa yang tak bisa disentuh oleh setiap tangan. Pembungkus kain yang terjuntai indah menghindarkan tubuhnya dari sengatan matahari, sorotan mata nyalang dan neraka; jilbab, dengan kesadaran, bukan paksaan. Itulah kecantikan transenden.