Skip to main content

Selamat Tinggal ‘Tahu Baru’

By August 28, 20112 Comments

Entah direncanakan atau sekadar latah, pada malam itu orang-orang seakan secara serempak melonggarkan moralitas dan kesusilaan. Bunyi terompet diselingi gelak tawa (bahkan dengan minuman keras) bersahut-sahutan di setiap tempat. Sepeda motor mengepulkan asap hingga mirip ‘dapur berjalan’ meraung-raung. Mobil-mobil membunyikan klakson sepanjang jalan. Café, diskotik dan tempat-tempat hiburan malam sesak padat. Orang-orang ‘tumpah’ di jalanan dengan satu tujuan: merayakan Tahun Baru.

 

Ada tiga jenis kalender yang dipakai penghuni planet ini. Pertama, kalender solar (syamsiyah, berdasarkan matahari), tahun yang mengikuti masa bumi mengelilingi matahari. Kedua, kalender lunar (qamariyah, berdasarkan bulan), tahun mengikuti masa bulan mengelilingi bumi. Ketiga, kalender lunisolar, tahun bulan yang dikombinasikan dengan tahun matahari. Karena kalender lunar dalam setahun 11 hari lebih cepat dari kalender solar, maka kalender lunisolar memiliki bulan interkalasi (bulan tambahan, bulan ke-13) setiap tiga tahun, agar kembali sesuai dengan perjalanan matahari.


Sebenarnya tahun Masehi adalah tahun yang baru bagi bangsa Indonesia, karena ia tidak memiliki akar kultur dan tradisi dalam sejarah bangsa ini. Ada beberapa faktor yang dapat mendukung anggapan ini. Pertama, latarbelakang sosio-historis. Berlakunya tahun Masehi tidak bisa dipisahkan dari pengaruh teologi (keagamaan) Kristen, yang dianut oleh masyarakat Eropa. Kalender ini baru diberlakukan di Indonesia pada tahun 1910 ketika berlakunya Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap atas seluruh rakyat Hindia Belanda. Kedua, karena latarbelakang teologis. Sebagaimana diketahui, kalender Gregorian diciptakan sebagai ganti kalender Julian yang dinilai kurang akurat, karena awal musim semi semakin maju, akibatnya, perayaan Paskah yang sudah disepakati sejak Konsili Nicea I pada tahun 325, tidak tepat lagi. Karena berada di wilayah tropis, Indonesia tidak mengalami musim semi, bahkan hanya punya musim kemarau dan musim penghujan.

 

Selain kalender Masehi, ada kalender yang disebut kalender Hijriyah, baik qamariyah maupun syamsiah. Ia disebut sebagai kalender Islam (at-taqwim al-hijri), bukan karena ke-arabannya, namun karena ditetapkan sejak hijrahnya Nabi Muhammad saw. Ia ditetapkan sebagai tahun Islam setelah Nabi wafat atas inisiatif Khalifah kedua, Umar bin Khathab pada tahun 638 M (17 H). Hijarh Nabi ditetapkan sebagai awal kalender Islam, menyisihkan dua pendapat lainnya, yaitu hari kelahiran Nabi dan hari wafatnya.

 

Kalender ini disahkan setelah menghilangkan seluruh bulan-bulan tambahan (interkalasi) dalam periode 9 tahun. Tanggal 1 Muharam Tahun 1 Hijriah bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622, dan tanggal ini bukan berarti tanggal hijrahnya Nabi Muhammad.

 

Sejak kedatangan Islam hingga awal abad ke-20, kalender Hijriyah berlaku di nusantara. Bahkan raja Karangasem, Ratu Agung Ngurah yang beragama Hindu, dalam surat-suratnya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Otto van Rees yang beragama Nasrani, masih menggunakan tarikh 1313 Hijriyah (1894 Masehi).

Selain memiliki kalender Hijriyah, bangsa Indonesia juga memiliki kalender sendiri, yaitu kalender Jawa. Kalender ini adalah adaptasi dari kalender Islam (Hijriah qamariyah), karena sama-sama mengawali tahun baru pada tanggal 1 Muharram meski berbeda nama, yang sejatinya juga merupakan olahan dari nama bulan Arab. Nama Muharam diubah dengan Suro, berasal dari Asyura, (‘asyrah’ atau 10), tanggal monumental yang dikenang sebagai tragedi pembantaian al-Husain, cucu Nabi saw di Karbala, Irak.

 

Sistem Kalender Jawa berbeda dengan Kalender Hijriyah, meski keduanya memiliki kemiripan. Pada abad ke-1, di Jawa diperkenalkan sistem penanggalan Kalender Saka (berbasis matahari) yang berasal dari India. Sistem penanggalan ini digunakan hingga pada tahun 1625 Masehi (bertepatan dengan tahun 1547 Saka), Sultan Agung mengubah sistem Kalender Jawa dengan mengadopsi Sistem Kalender Hijriah, seperti nama-nama hari, bulan, serta berbasis lunar (komariyah). Namun demikian, demi kesinambungan, angka tahun saka diteruskan, dari 1547 Saka Kalender Jawa tetap meneruskan bilangan tahun dari 1547 Saka ke 1547 Jawa.


Mengapa persoalan penggunaan kalender Hijriyah atau kalender Jawa menjadi penting? Merayakan dapat diartikan sebagai luapan komitmen dan keterikatan, baik relijius maupun kultural. Merayakan tahun Masehi, yang memang tidak memiliki dasar agama dan kultur, bagi bangsa Indonesia tidaklah sama dengan merayakan kelahiran Isa atau Natal, yang merupakan tradisi keagaman sekaligus kultural. Secara keagamaan, perayaan Natal adalah sesuatu yang mulia dan dapat diterima oleh hampir semua penganut Kristen dan Islam. Namun, merayakan tahun baru Masehi dapat dianggap sebagai penolakan terhadap jatidiri dan budaya sendiri. Ini juga tidak bisa dijadikan secara otomatis sebagai justifikasi pentingnya merayakan tahun baru Hijriyah. Sejauh ini tidak ditemukan teks agama yang menganjurkan perayaan tahun baru Hijriyah. Toh, penetapan kalender Hijriyah hanyalah keputusan kenegaraan (Kepres) Khalifah. Tapi, merayakannya sebagai upaya counter culture di tengah kecamuk serangan budaya anti Islam, masih dapat dimaklumi.

 

Karena itu, meski melupakan kalender sendiri menyisakan ironi, merayakan pergantian tahun kalender apa saja bukanlah sesuatu yang buruk. Hanya saja, mestinya ia disambut dengan evaluasi, perencanaan dan tekad perbaikan, bukan dengan berjingkrak-jingkrak, mengganggu ketentraman, mengotori jalan dengan sampah terompet dan menghamburkan BBM. Selamat tahun baru (Masehi, Hijriah dan Imlek). (dwimingguan ADIL)