Skip to main content

Transkip Orasi Malam 5 Tahun Tragedi Sampang. Merdeka mewakili sebuah institusi. Kemerdekaan diakui oleh negara-negara lain. Kebebasan mewakili humanitas. Kebebasan berbicara tentang free will, kehendak yang inheren dalam diri manusia.

Negara ini sudah merdeka, tapi bangsanya belum bebas. Orang belum bebas menginjak tanahnya sendiri. Orang belum bebas dimakamkan di tanah-tanahnya sendiri.

Kita sering bangga bahwa kita bangsa yang toleran dan majemuk. Simbol negara kita adalah Bhinneka Tunggal Ika. Tapi itu hanya simbol dan jargon yang kita banggakan. Faktanya, selalu saja ada disharmoni antara kata dan fakta, antara das solen dan das sein, antara yang terjadi dan yang semestinya terjadi. Baca : TRAGEDI SAMPANG: KUASA PEMBODOHAN

Derita di Sampang tidak seperti konflik di tempat lain. Di Poso, korban yang berjatuhan ribuan orang dan bisa diselesaikan.

Sampang lebih khusus lagi sebuah desa, sebuah dusun, yang diisi oleh orang-orang yang polos dan lugu. Sebagian besar dari mereka tidak mengetahui hak-hak sipilnya yang mewakili bagian dari bangsa ini yang belum tersentuh oleh industri dan teknologi.

Mereka sama sekali bukan ancaman. Mereka mewakili kelompok yang paling proletar dan gembel. Mereka tidak melakukan gangguan apapun. Tapi mengapa tidak bisa diselesaikan?! Seakan-akan segala upaya pupus dan tidak bisa diselesaikan. Seolah semua akses tertutup.

Presiden, pemerintahan, dan kabinet telah berganti. Tapi mereka tidak mampu menyelesaikan kasus Muslim Syiah Sampang. Ini bukan karena pemerintah dan LSM tidak mampu melakukannya, tapi kita harus lebih kritis dan berani. Kita tidak sekadar melihat persoalannya pada pemerintah.

Kepada media tentu saja kita apresiasi yang berperan dalam menyampaikan berita. Tentu saja media telah menjadi industri yang harus mengikuti aturan main; jika tidak terlalu dramatis dan tidak sensasional, akan luput menjadi berita. Baca : YLBHI: relokasi warga Syiah Sampang bukan solusi

Namun demikian, jurnalis independen yang punya kepedulian akan menyuarakannya. Kita juga harus mengapresiasi kawan-kawan aktifisdari jaringan LSM telah berbuat dengan segala upaya. Tidak lupa, beberapa kiai yang progresif dengan segala macam tantangannya telah turut menyuarakan isu Sampang dan mencari solusinya.

Di sini harus ditegaskan beberapa hal terkait kasus Sampang:

Pertama, kasus Sampang bukanlah sebuah konflik. Konflik mewakili dua pihak yang sejajar. Jika dianggap sebagai konflik, maka telah terjadi distorsi. Yang ada hanyalah agresi dan kezaliman. Bermula dari sebuah penolakan adanya kebebasan orang-orang menikmati pilihan keyakinannya. Di negara ini tidak ada keharusan memilih agama. Ketuhanan Yang Maha Esa berarti bahwa Anda bertuhan saja sudah boleh untuk menjadi warga negara ini. Tidak ada keharusan menganut agama tertentu.

Bukankah tauhid datang untuk manusia agar tidak ada manusia yang menuhankan dirinya dan menghambakan orang lain? Bukankah agama untuk memerdekakan manusia? Aneh jika ada orang menggunakan agama justru untuk merampas kebebasan orang lain.

Nabi Muhammad datang untuk membebaskan Bilal, bukan menjadikannya sebagai budak kembali atas nama agama. Kita berada dalam negara yang menjunjung tinggi kemanusiaan tapi ada sekelompok orang yang rumahnya dibakar, bahkan ternaknya pun dibakar, karena dianggap sesat. Tempat ibadahnya juga dibakar.

Kejahatan atas nama ekonomi memilih korban; yang kaya yang lebih dulu dirampok. Namun, kejahatan atas nama agama tidak memilih korban; tua muda, pria wanita, semua dilibas.

Kita tidak bermaksud memanas-manasi atau menyimpan dendam. Agama Islam yang diajarkan kepada pengungsi Muslim Syiah Sampang bukanlah agama yang menyuburkan dendam. Kita tidak sedang berbicara tentang dendam, tapi kita sedang berbicara tentang pentingnya menghargai sesama manusia sebelum sebagai warga negara. Apabila negara ini dan para elit politik sibuk dengan E-KTP, atau sibuk dengan menjual aset-aset negara, namun melupakan jiwa-jiwa yang lebih penting, maka ini akan menjadi preseden buruk di masa mendatang. Hal ini akan menjadi tradisi ketika ada orang dianiaya kemudian aparat tidak ingin kerja keras, maka yang dilakukan hanyalah mengevakuasi korban.

Sebagai penegak hukum tidak boleh tebang pilih. Apabila kebebasan beragama di dalam negara diinjak-injak oleh sekelompok orang berarti ada penistaan terhadap simbol-simbol negara. Kenyataannya, kelompok Muslim Syiah justru diusir. Tidak hanya itu, dicarilah pasal yang sekarang ini muncul di Jakarta; pasal penodaan agama (156a KUHP). Siapa pun bisa menjadi target pasal ini. Sekadar berbeda dengan keyakinan seseorang, maka seseorang bisa dianggap melakukan penodaan agama.

Kita yakin bahwa sebagian dari bangsa ini yang diwakili oleh para jurnalis, aktifis, dan mahasiswa, pastilah peduli terhadap bangsa ini, tidak terbatas terhadap kelompok Muslim Syiah Sampang, tapi juga kaum minoritas lainnya. Ketika kita berbicara tentang hak seseorang, kita tidak boleh diskriminatif. Apakah dia Muslim Syiah Sampang, Ahmadiyah, maupun jemaat gereja Yasmin dan sebagainya. Semua punya hak sebagai warga negara.

Kedua, tragedi Sampang bukanlah persoalan cinta yang konon disebabkan dua orang mengakibatkan ratusan orang lainnya. Tragedi Sampang bukan pula persoalan ladang minyak. Persoalan ini tidak boleh dialihkan ke rumor lain.

Akibat tragedi Sampang sekelompok orang yang kehilangan hak-haknya, tapi pemerintah tidak berdaya untuk menyelesaikannya. Kita tetap mengapresiasi pemerintah daerah, baik gubernur dan bupati. Persoalannya bukan pada mereka, tapi ada pihak lain yang menjadikan kasus ini sebagai bukti bahwa mereka memiliki hegemoni dan kuasa atas nama agama.

Muslim Syiah Sampang ingin kembali ke kampung halaman dan masyarakatnya pun siap menerimanya. Satu sama lain saling terikat hubungan perkawinan di antara mereka. Hubungan di antara mereka baik-baik saja. Namun, ada pihak-pihak tertentu yang ingin Muslim Syiah Sampang menjadi bagian dari masyarakat dengan ciri khasnya.

Masyarakat Muslim Syiah Sampang bukanlah pengungsi Rohingya, tapi masyarakat asli setempat. Kezaliman yang paling biadab adalah kezaliman atas orang yang jelas-jelas tidak mampu melawannya. Tidak ada yang lebih biadab dari itu. Kemudian dianggap sebagai konflik.

Menganut sebuah keyakinan karena pilihan sepadan dengan deritanya. Wahai para pengungsi Syiah Sampang, jangan tunjukkan kelemahan Anda! Kemuliaan Anda ada di saat Anda tegar, tangguh dan siap dengan segala derita. Jangan sampai upaya sekelompok orang di sekitar Anda melemahkan posisi tawar Anda. Mengapa perlu kembali ke kampung halaman? Mungkin tidak lagi nyaman, tapi Anda mewakili ribuan kelompok minoritas yang nasibnya akan dipertaruhkan. Ini bukan Sampang semata, tapi masa depan toleransi dan keragaman.

Jika setiap orang dizalimi dan yang dizalimi harus mengalah, apatah arti keadilan? Sungguh absurd! Mengapa perlu kembali ke kampung halaman? Hanya ingin membuktikan bahwa rakyat ini tidak lupa bahwa bangsa ini adalah bangsa yang menghormati warganya. Tidak untuk dendam dan siap merangkul. Segala upaya telah dilakukan.

Mengapa belum berhasil? Karena sekelompok orang yang mempertahankan egonya untuk menghalangi mereka kembali ke kampung halaman.

Karena itu, di Malam Peringatan 5 tahun Tragedi Sampang, semua elemen terutama para aktifis dan jurnalis serta seluruh masyarakat Indonesia yang cinta toleransi, kebhinnekaan dan perdamaian harus mendukung upaya untuk mengembalikan hak-hak yang paling asasi dari setiap manusia untuk kembali dan mati di tanahnya. Di situlah sejarah mereka berada. Itu suci. Tumpah darah Anda di sana.

wahai kawan-kawan pengungsi Sampang, kangan mundur sejengkal pun untuk itu. Mengapa? Ini bukan persoalan Anda satu per satu, . Namun, ini mempertaruhkan hak dan nasib orang-orang yang dianiaya dari kelompok mana pun di bumi Indonesia ini.

Kepada teman-teman media agar tidak lelah untuk menyuarakan rintihan-rintihan para perempuan dan anak-anak kecil yang kehilangan rumahnya. Mereka bukan orang-orang kota yang terbiasa dengan rumah susun dan gedung. Mereka terbiasa berlantaikan tanah yang alami dan bersahaja. Jangan paksa mereka untuk menjalani kehidupan yang mekanik. Seolah-olah mereka berkata, “Alih-alih mereka ribut, lebih baik kelompok yang sedikit dikorbankan.”

Kebenaran tidak diukur dari segi jumlah. Hukum bersifat kualitatif, bukan kuantitatif. Hukum tidak berpihak kepada siapa yang kuat, tapi berpihak kepada siapa yang benar. Tegakkanlah hukum agar negeri ini disebut negara hukum. Jika tidak, orang akan mempertanyakan hukum rimba yang berlaku bila yang kuat yang harus dimenangkan.

Oleh karena itu, di malam peringatan lima tahun di pengungsian ini hendaknya menjadi momentum bagi kita untuk me-recharge, penyadaran kembali bahwa ada noktah hitam di kening bangsa Indonesia bernama Sampang.

https://youtu.be/GsRbZ7_l71Y

Wassalam.