"AGAMA CANDU"
Mengapa mesti berbeda? Mengapa ada yang tak mampu jalan karena lapar dan ada yang tak mampu bergerak karena kenyang? Mengapa ada yang tangannya sakit karena sering menengadah menunggu welas di perempatan lampu merah, sementara ada pula yang tangannya keram karena lama menghitung hartanya? Mengapa ada yang meneteskan air mata karena gembira haru, ada pula yang tertawa meringis karena malu (pulang ke rumah karena tidak berhasil membawa susu untuk anak)? Mengapa ada yang sumpek karena laba bisnisnya tidak sebagus kemarin, sementara ada yang gembira lantaran hari ini lebih bagus dari kemarin setelah diajak teman makan di warteg?
Ada ribuan pertanyaan serupa yang silih berganti seperti iklan baris di benak kita, baik kita sebagai yang merasa beruntung dapat karunia maupun kita yang merasa kurang beruntung dapat karunia. Sebagian orang, karena telah dibekali doktrin teologi fatalis, bahwa itu semua adalah keputusan absolut Tuhan yang, bila dipertanyakan bisa dianggap kufur.
Jawaban ini secara jelas tidak mendidik dan bisa dianggap sebagai “teologi candu”. Mengapa? Tuhan yang mahasuci dan tak terbatas telah menciptakan sistem alam dengan segala dimensi dan mekanismenya. Seseorang yang menjadi kaya karena mengambil hak orang lain bukan hasil keputusan Tuhan. Manusia yang menjadi penguasa semena-mena dan menindas rakyat bukanlah takdir Tuhan yang harus diimani. Tuhan yang telah memberi manusia dengan kemampuan dan alam diperuntukkan kepadanya tidak bisa dijadikan sebagai “pelaku utama’ atau “otak intelektual” di balik kebiadaban para pengusaha tamak dan penguasa despotik. Tuhan telah memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk menjadi apa saja. Bila mempertanyakan ketimpangan sosial akibat ulah manusia-manusia rakus dan kejam, dianggap sebagai menggugat keputusanNya, maka bisa dipastikan bahwa Ia hanyalah imagi yang diciptakan untuk melestarikan dominasi dan hegemoni serta eksploitasi.
Ada pula yang menggunakan statemen yang terkesan apologetik bahwa “harta dan tahta bukanlah ukuran ketakwaan, namun amal”. Ketakwaan adalah sesuatu yang abstrak dan transenden. Tentu saja, ketakwaan tidak bisa diukur dengan kekayaan. Dipastikan bahwa kekayaan bukan standar ketakwaan saja, banyak yang mencarinya sengan segala macam cara, bayangkan bila bila dianggap identik dengan ketakwaan. Itu artinya, yang kaya di dunia, pastilah kaya di akhirat, dan begitu pula sebaliknya. Bila demikian konsekuensinya, maka bisa dipastikan pula bahwa doktrin ini tidak lain adalah modus operandi para penjarah harta sesama agar mereka bisa tidur nyenyak tanpa dihantui sedikitpun rasa bersalah. Tidak sedikit pula yang dijejali dengan tausiah, “lihatlah orang yang di bawah agar selalu bersyukur”.
Bila mempertanyakan ketimpangan sosial akibat ulah sekelompok orang yang rakus dianggap sebagai sikap “tidak syukur”, maka berarti membiarkan kezaliman ekonomi bisa dianggap sebagai cara mudah untuk menghimpun pahala syukur. Lagi pula, anjuran untuk melihat orang yang di bawah (baca: nasibnya lebih “buruk”) hanya bisa berlaku atas orang yang diatas atau masih di level menengah. Orang yang di bawah (dan kebanyakan dipaksa untuk berada di bawah) tidak menemukan orang yang di bawahnya lagi agar bisa dijadikan sebagai alasan untuk bersyukur. Alih-alih mau bersyukur, untuk memahami arti syukur saja, mereka memerlukan sedikit dana dan sesuatu yang bisa membuat mereka fokus mendengarkan ceramah tentang syukur.
Doktrin-doktrin tersebut diatas muncul sebagai akibat nyata dari upaya-upaya sistematis mengamputasi rasio dan kriminalisasi penggunaan logika dengan tujuan mengikis habis akar-akar kehendak untuk menuntut perubahan dan perlawanan terhadap kezaliman. Tidak sedikit legenda-legenda perubahan dalam sejarah umat Islam telah dijatuhi vonis abadi sebagai pemberontak, anti jamaah, dan pelaku makar yang pada akhirnya diberi aneka predikat mengerikan seperti sesat, zindiq, sesat, menuhankan Ali, dan kafir, yang tentu saja sudah pasti akan dijebloskan ke neraka oleh tuhan para penguasa kejam dan pengusaha maruk itu.
Konspirasi menciptakan koloni dengan sampul teologi feodalistik ini tidak akan mulus berhasil tanpa menciptakan “musuh bersama”. Karena itu, sepanjang sejarah para penguasa penjarah baitul-mal melalui para wartawan bodrex (alias kolektor hadis-hadis palsu) bekerja all out untuk mendekreditkan dan merusak citra positif kelompok-kelompok yang merawat teologi perubahan yang rasionalis dengan puluhan ribu upaya diskriminasi, blokade, penkafiran dan pembantaian. Ali bin Abi Thalib bersama Ammar bin Yasir, Malik bin Nuwairah at-Tamimi, Abu Zar, Malik Asytar dan para sahabat (lainnya yang lenyap nama maupun data sejarahnya telah di-X-file-kan) harus rela menerima akibat-akibat itu karena berusaha untuk menyiramkan air kesadaran teologi rasional ini kepada masyarakat yang sakau oleh teologi narkoba yang disuntikkan oleh para tiran berbalut “agama publik”. Ini bukan soal sentimen sektarian, bukan soal mazhab, dan bukan pula soal agama secara formal. Ini soal modus pembodohan dan penjajahan. Ini soal hegemoni tuhan-tuhan bertulang yang muncul silih berganti dengan kedok agama!
Setiap orang akan diminta pertanggungjawaban sebesar potensi dan kesempatan yang dimilikinya. Orang yang memiliki kemampuan mencari dan mengumpulkan harta, akan akan menghadapi diauditing Sang Penghitung tercepat (Sari’ul-hisab) tentang cara perolehan, penggunaan dan tujuan serta hasilnya. Sebaliknya orang yang tidak memiliki kemampuan menghimpun banyak harta, akan diminta pertanggungjawaban atas potensi lain yang dimilikinya.
Singkatnya, kekayaan, kekuasaan, ketenaran, kekuatan, kecerdasan, kepandaian, kecantikan dan lainnya adalah karunia-karunia yang tidak diberikan cuma cuma. Tuhan tidak memberikan potensi, kemampuan dan kesempatan kepada setiap manusia secara cuma-cuma karena masing-masing memiliki bejana dan wadah yang berbeda-beda secara takwini.
Berdasarkan aksioma pandangan teologis yang menisacayakan kemahaadilan Sang Pemberi, maka pasti perbedaan ukuran dan kapasitas karunia tersebut bukanlah keputusan yang acak dan tanpa tujuan. Itu artinya, besar dan kecilnya (kuantitas) karunia yang dimiliki oleh setiap orang bergantung pada outcomenya secara kualitatif. Dengan kata lain, kuantitas income yang dimiliki setiap manusia akan diukur dan dinilai oleh Allah dari kualitas outcome-nya. Karenanya, pastilah fakta perbedaan karunia pada setiap orang adalah keputusan yang adil.