Banyak orang mengira bahwa agama yang dianutnya adalah kebenaran mutlak dan final. Pemutlakan inilah sumber intoleransi dan pemaksaan.
Sebagian besar orang menganut agama karena keterlanjuran dan faktor-faktor; determinan seperti terlahir dan tumbuh dalam lingkungan sosial agama tertentu.
Sebagian kecil orang menganut agama karena pilihan dan komparasi. Dua proses menganut itu melahirkan pola keberagamaan yang berbeda.
Sebagian besar orang beragama secara holistik. Sebagian kecil beragama secara eklektik. Keberagamaan holistik umumnya terlihat di kalangan tradisional.
Sebagian kalangan modern beragama secara eklektik karena menemukan banyak agama yang semuanya menawarkan keselamatan yang nyaris sama..
Sebagian besar menganut agama karena fakta-fakta yang diyakininya koheren dengan iman. Sebagian kecil menganutnya karena janji masa depan yang belum aktual.
Sebagian besar orang menganut sebuah agama karena memastikannya sebagai kebenaran mutlak tanpa memberi probabilitas secuilpun kesalahan.
Sebagian kecil orang menganut sebuah agama sembari membuka kemungkinan sedikit ketidakbenaran dalam bagian-bagian turunannya yang tidak fundamental.
Itulah sekelumit tentang fenomena agama dan para penganutnya. Selanjutnya kita akan bahas sekilas tentang konsep agama secara epistemologis.
Agama adalah konsep-konsep yang diyakini sebagai ajaran Tuhan yang disebarkan seseorang untuk diterapkan oleh manusia di dunia sebagai bukti kepatuhan.
Secara epistemologis agama dapat dilihat dalam 2 dimensi; vertikal dan horisontal. Agama dalam persepktif pertama adalah wahyu mutlak dan suci.
Dalam perspektif kedua, agama adalah ajaran berupa ajaran-ajaran yang ditafsirkan dari teks-teks Nabi yang diyakini sebagai wahyu Tuhan.
Agama bila dilihat dari sisi Tuhan dan Nabi adalah suci karena Tuhan mahasuci dan wahyuNya suci. Karena itu ia pasti mutlak benar abadi.
Nabi, manusia yang dilengkapi kemampuan dan kapasitas sebagai penerimanya, juga diyakini suci karena sistem afinitas eksistensial meniscayakan itu.
Sampai disitu, mayoritas umat beragama terutama umat Islam menyepakatinya. Kalau Nabi tidak suci, ia tidak bisa menerima wahyu suci.
Namun saat wahyu dalam sabda Nabi diterima oleh yang tidak suci, maka ia menjadi produk persepsi yang relatif, dan bukan lagi wahyu yang mutlak.
Artinya, agama harus dipahami dengan 2 dimensi; mutlak sebagai wahyu Allah kepada Nabi; dan nisbi sebagai ajaran yang diterjemahkan dari teks wahyu.
Masalahnya, ada 2 kelompok ekstrem yang mengusik kontruksi logis ini, yaitu kelompok penolak kemutlakan wahyu yang diterima Nabi;
Kelompok ekstrem kedua memutlakkan ajaran-ajaran yang merupakan produk penafsiran terhadap teks wahyu oleh pribadi-pribadi yang tidak suci seperti Nabi.
Merelatifkan wahyu pada Nabi dengan dalih keinasannya justru mengundang tanya, dengan alasan logis apakah penerima wahyu dianggap Nabi?
Merelatifkan pengetahuan penerima wahyu juga mengakuinya Nabi adalah kontradiksi. Lebih aneh lagi, mengutamakan yang relatif dari relatif-relatif lainnya.
Sebaliknya memutlakkan persepsi umat terhadap wahyu berarti menganggapnya seperti wahyu padahal umatnya tidak suci dan relatif.
Menisbikan pemahaman Nabi meniscayakan kelonggaran, hilangnya kepatuhan, permisifisme bahkan agnotisitas yang absurd.
Memutlakkan pemahaman umat terhadap wahyu meniscayakan kekakuan, kejumudan, intoleransi, agresi dan runtuhnya hierarki otoritas.
Pemutlakan persepsi (mazhab) jelaslah meniscayakan klaim implisit kenabian yang bertentangan dengan prinsip fundamental agama itu sendiri.
Agama yang dianut itu oleh umat adalah produk persepsi relatif. Namun itu tidak berarti setiap orang bisa menafsirkan teks suci sendiri-sendiri.
Logika dan prinsip-prinsip utama yang disepakati adalah parameter yang menentukan penafsiran yang logis dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip qath’inya.
Relijius rasional memilih jalan tengah, meyakini kemutlakan wahyu dan menolak pemutlakan persepsi yang relatif. Itulah iman moderat.
Penisbian wahyu mendesakralisasi agama. Pemutlakan persepi mensakralisasi mazhab. Bila tidak ada jalan tengah, agama layak ditinggalkan.
Dulu polar pertama mengundang kontroversi. Kini polar kedua muncul dengan beragam modus dari yang soft berupa partai hingga yang kasar & sadis.