Skip to main content

‘Agama-tainment’

By October 25, 2011No Comments

Agama itu selayaknya dijadikan sebagai sebuah aturan hidup yang tak boleh dilanggar sedikit pun. Sungguh ajaib manusia yang mengaku percaya akan keberadaan Tuhan namun bersikap pilih-pilih menjalankan semua perintah-Nya. Bagi orang-orang semacam ini, keimanan hanya sekedar ‘lip service’ belaka.
Akan lebih menakjubkan lagi kiranya jika kita mengamati ‘kreatifitas’ manusia dalam memanipulasi agama untuk kepentingannya sendiri. Mereka mengambil mana-mana yang sesuai dengan keinginannya, dan meninggalkan semua yang tidak diinginkannya. Gejala ini terjadi di mana-mana, dan sebenarnya sama sekali bukan hal yang baru. Mereka tidak ubahnya seperti umat Yahudi yang mendapati hukum rajam bagi pezina di dalam Taurat, Kitab Sucinya sendiri, namun tidak mengaplikasikannya, atau hanya memberlakukannya pada kalangan masyarakat kelas bawah saja. Alasannya sederhana saja : karena kaum elit ingin bebas berzina.
Di Indonesia sudah terbukti bahwa kaum elit memang gemar berzina. Direkam pula!
Ada juga yang ketaatannya pada agama menuruti fungsi waktu. Ada saatnya ia taat pada agama, ada pula temponya ia ingkar. Seolah-olah agama itu profesi ; ada jam kerja, ada waktu cuti dan liburannya. Semua tergantung mood pribadinya belaka. Kadang shalat, kadang dugem. Sekali waktu pergi umrah, lain kali pesta narkoba. Saat Ramadhan pakai hijab, masuk Syawal sudah berganti dengan bikini. Sebenarnya sudah ada iman di dalam hatinya, namun ia masih belum rela mengganti kebiasaan jahiliyah-nya dengan kebiasaan yang baru, yaitu kebiasaan yang Islami.
Umat Islam, utamanya di Indonesia, nampaknya memang telah sangat terbiasa dengan keimanan yang merupakan fungsi waktu. Ketika masuk bulan suci Ramadhan, rasanya keberadaan night club, kedai minuman keras, pelacur, atau banci menjadi begitu tidak menyenangkan. Bahkan melihat orang yang seenaknya makan di jalan ketika kebanyakan orang melaksanakan shaum pun sudah membuat mata terasa tak nyaman. Para artis pun merespon logika yang digunakan di masyarakat ini dengan sangat baik. Kalau mau mendapat job melimpah di bulan Ramadhan, mereka pun rela menutup semua auratnya dengan baik. Sayang, tak satupun dari kebiasaan baik ini dilanjutkan sepeninggal Ramadhan.
Di kalangan tertentu, agama memang sangat efektif jika digunakan sebagai kedok. Namanya kedok, tentu fungsinya adalah untuk menutupi sesuatu. Logika kedok adalah logika penipuan.
Ada fotomodel dari Australia yang kedapatan membawa narkoba di Indonesia. Bagaikan sulap, ketika menghadapi proses peradilan, tiba-tiba saja ia tampil mengenakan kerudung. Meski kerudungnya tidak cukup sempurna untuk disebut hijab, namun tak pelak semua orang langsung mengidentifikasinya sebagai simbol keislaman. Seperti kita ketahui bersama, kerudung itu langsung lepas dan tak pernah dipakai lagi olehnya setelah proses peradilannya selesai.
Ada penyanyi dangdut yang goyangannya sangat tidak pantas, namun ketika perilakunya di atas panggung dikritisi dengan tajam, ia pun tampil di depan kamera infotainment dengan air mata berurai, lengkap dengan pakaian yang menutupi tubuhnya dengan sempurna dan kerudung. Seolah-olah dirinyalah yang korban, dan para pengkritisinyalah yang kejam. Memang pada akhirnya terbukti bahwa simbol-simbol agama (meskipun saya tetap yakin bahwa agama Islam itu sebenarnya bebas dari simbolisme) cukup efektif untuk mempengaruhi opini masyarakat dan membelokkan inti permasalahan.
Ada pula artis dangdut lainnya yang ketika rumah tangganya diterpa badai, ia berkata dengan penuh lirih kesedihan : “Saya hanya bisa bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah limpahkan selama ini. Saya anggap semua ini adalah ujian dari-Nya, dan merupakan jalan hidup yang telah Allah tetapkan bagi saya. Doakan saya ya, pemirsa!”
Fantastis! Benar-benar akting kelas juara! Ketika rumah tangganya normal kembali, ia pun kembali ke panggung-panggung untuk memamerkan goyang pinggulnya yang sama sekali tidak pantas. Dan, tentu saja, semua kalimat indah yang pernah meluncur dari lidahnya itu tidak pernah terdengar lagi. Barangkali nanti kalau ia mengalami masalah besar, maka ia akan mampu mengutip dengan fasih ayat-ayat Al-Qur’an. Entah kapan.
Di Indonesia, bahkan artis yang sudah tertangkap basah melakukan perbuatan zina di depan kamera pun tidak merasa perlu untuk lari dari kepungan mata masyarakat. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena memang sudah tidak ada lagi rasa malu. Ia pun melangkah tegap dengan dagu terangkat, seolah menantang siapa saja yang ada di depannya. Tentu saja manipulasi agama adalah bagian yang tak terpisahkan dari strateginya.
Meski sudah terkenal sebagai pezina (yang nampaknya juga sudah terlanjur lihai melakukannya di depan kamera), ia hanya perlu berusaha sedikit saja untuk mengubah imej. Ia mengikuti kegiatan-kegiatan sosial, menengok korban bencana alam, memberi santunan kesana-sini, dan tentunya tidak lupa juga mengenakan pakaian yang nyaris sempurna menutupi aurat layaknya Muslimah sejati. Maka orang-orang awam pun terpengaruhi opininya. Sangka mereka, sang artis hanyalah korban belaka. Tapi orang-orang kecil yang butuh santunan itu tidak tahu bahwa artis yang sama masih aktif beraksi seronok di klub-klub malam, tempat segala kemaksiatan terjadi.
Ibarat pencuri, mereka berusaha menjadikan keagungan agama sebagai miliknya sendiri. Dan segala perbuatan mereka ini seolah luput saja dari penglihatan masyarakat, karena masyarakat hanya menonton apa yang dijejalkan ke hadapannya oleh media massa. (http://akmal.multiply.com)