Meski sains terus berkembang dan teknologi makin maju, agama (doktrin racikan segelintir orang) tetap diminati oleh banyak orang karena sejumlah alasan.
Salah satu alasannya adalah agama terasa mudah dan populis karena menawarkan kepada siapapun sebuah kepercayaan tanpa nalar (yang disebut “iman”) seraya menjejalkan sugesti bahwa “iman” tersebut adalah anugerah khusus berupa petunjuk kebenaran dari Tuhan. Karenanya, dipegang erat dan kerap melahirkan fanatisme dan intoleransi.
Salah satu daya tariknya adalah terbukanya kesempatan untuk menjadi agamawan instan bagi yang sudah mengumpulkan. Artinya, jadi pemuka agama itu tak sesulit jadi profesional. Lebih mudah lagi kalau yang jadi agamawan adalah artis, pesohor medsos, pengusaha dan lainnya. Lebih-lebih mudah lagi kalau mengaku muallaf anak Paus, pemimpin tertinggi Katolik.
Proses ini kerap pula dilengkapi dengan penanaman kebencian kepada kepercayaan lain sebagai cara mempertahankan kepercayaan sebagai doktrin menjaga ajaran Tuhan dari syirik, kesesatan, bid’ah dan mitos.
Agama di atas tak punya nama khusus. Ia adalah semua keyakinan irrasional di benak siapapun yang malas menggunakan akal sehat untuk menyusun premis-premis fundamental agama (ketuhanan, kewenangan dan kebangkitan). Ia bisa diberi aneka nama sesuai pilihan kata setiap orang. Ia adalah industri pembodohan yang dikendalikan oleh para feodalis yang tak boleh dikritik dan mesin yang diciptakan kelompok peternak pemuja. Ia bukanlah agama Tuhan, tapi agama para tuan.