AGAMA YANG SAYA KAGUMI

AGAMA YANG SAYA KAGUMI
Photo by Unsplash.com

Meski tak sepi dari doktrin eksklusif dan mengalami deviasi serta friksi akibat intervensi politik kotor sebagaimana agama-agama pada umumnya, teologinya bukan gertak teks klerik tapi diskursus filsafat logika, etika, ontologi, kosmologi dan liturgi yang diajarkan dalam stoa-stoa skolastik oleh para bijakawan ternama, seperti Anselmus, Agustinus, Aquinas, Scotus dan lainnya. Beberapa teolog modern di Indonesia cukup mengundang respek saya, antara lain Romo Magnis Suseno dan Romo Mudji Sutrisno, juga beberapa agamawan aktivis seperti Romo Mangun Wijaya dan Romo Sandiawan.

Tak hanya mengajarkan kasih, agama ini punya sumber spirit resistensi terhadap kejahatan dan penindasan dalam epos-epos agung. Salib bukan sekadar dua batang kayu yang disilangkan tapi diyakini sebagai simbol pengorbanan dan perlawanan terhadap kejahatan serta kuasa rakus yang menciptakan kebencian antar sesama penyembah Tuhan. Beberapa nama agamawannya diabadikan sebagai ikon perjuangan, seperti Cardinal Sin, inspirator people power rakyat Filipina yang menggulingkan diktator Marcos, Desmont Tutu yang mensupport Mandela menghapus Apartheid di Afsel, Uskup Gustavo Gutierrez, pejuang Teologi Pembebasan di Peru dan banyak lagi lainnya.

Agama ini menetapkan kriteria-kriteria ketat kompetensi dalam hierarki otoritas yang rapi dan megah. Ini adalah skor besar yang tak bisa dikejar oleh agama lain yang mengganti sistem pendidikan para agamawannya dengan pemujaan dan kultus yang dibangun di atas fosil folklor, dongeng kesaktian yang terus digemakan dan testimoni mimpi tak terjangkau nalar.

Tak hanya itu, proses pembentukan hierarki kewenangan dalam agama ini dimulai sejak dini melalui serangkaian jenjang edukasi. Upacara pengangkatan santo atau orang suci demi diselenggarakan mengamankan agama dari distorsi akibat tak adanya parameter dan syarat ketat pemegang otoritas. Inilah yang melahirkan kepatuhan dan kerapian umatnya di mana pun berada.

Lalu coba berpikirlah lebih tenang dan bandingkan dengan hiruk pikuk kegaduhan di luar sana. Lihatlah lomba klaim otoritas tanpa standar kompetensi di luar sana. Intoleransi ekstra dan intra penganutnya justru diagungkan sebagai citra keagungan dan bukti kebenaran.

Terlepas dari keberatan-keberatan teologis terhadap sejumlah keyakinannya, saya tak berdaya untuk tak mengagumi agama ini.

Tak setuju dengan opini? Enjoy your faith!

Read more