Wajah Wakil Ketua MPR A.M. Fatwa kemarin (3/2) semringah. Dia terus menebar senyum. Pasalnya, politikus kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, itu baru saja menerima penghargaan dari negeri Iran. Dia mendapatkan penghargaan sebagai tokoh anti kezaliman dari Indonesia.
Penghargaan tersebut diserahkan langsung oleh Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad. Demikian dilaporkan Situs Jawa Pos.
Fatwa pun langsung menggelar syukuran di gedung DPR. Dia menggandeng Ketua MPR Hidayat Nurwahid untuk ikut bergabung. Tak lupa, satu tumpeng besar disiapkan. Hidayat mendapatkan kehormatan untuk memotong pucuk tumpeng dan menyerahkannya kepada Fatwa.
Politikus yang pernah dipenjara di era Orde Baru itu menuturkan, awalnya dirinya diundang sebagai tamu kehormatan oleh Wakil Ketua Majelis Iran, Seyyed M. Hassan dan Wakil Presiden Iran Bidang Veteran Hussein. Dia diajak berkunjung ke negeri para Mullah itu pada 27 Januari hingga 2 Februari. Saat dihubungi Kedutaan Besar Iran, Fatwa sempat menolak dengan persiapan pemilu.
Namun, kedutaan terus mendorong Fatwa agar ikut. Fatwa pun menurut. Di Iran, “kecurigaan” Fatwa muncul saat bertemu dengan beberapa tamu dari berbagai negara. Di antaranya, Buntu Hulunisa, jenderal yang mendampingi Nelson Mandela saat melawan politik apartheid di Afrika Selatan, Shamir Qantar, pejuang Palestina asal Lebanon.
Ternyata, kedatangan Fatwa itu bersamaan dengan delapan tokoh dari Afrika Selatan, Iraq, dan Lebanon. Mereka datang untuk mendapatkan penghargaan anti kezaliman dari pemerintah Iran. Penghargaan dari pemerintah Iran tersebut disampaikan langsung Presiden Iran Ahmadinejad kepada A.M. Fatwa dan delapan tokoh lainnya.
Fatwa sempat tak percaya. Dia lantas menanyakan itu kepada salah satu pihak pemerintah Iran. Wakil Ketua MPR mengatakan, “Kata mereka, kami sudah melihat riwayat hidup bapak.”
Selama di Iran, Fatwa bertemu sejumlah pejabat negeri minyak itu. Fatwa menilai, Iran kini mulai membuka diri terhadap dunia internasional. Para penerima tidak hanya dari kalangan muslim Syiah. Dikatakannya, “Bahkan, yang dari Afrika itu bukan seorang muslim. Saya sendiri Sunni.”
Jika memperhatikan undang-undang Iran, negara ini mengapresiasi warga selain muslim. Bahkan, Iran memmpunyai pahlawan-pahlawan selain muslim yang berkorban membela Iran dalam perang Irak-Iran. Selain itu, parlemen Iran sendiri mempunyai wakil-wakil dari berbagai negara seperti Kristen, Majusi dan Yahudi. Ini semua membuktikan bahwa Republik Islam Iran semenjak awal mengapresiasi berbagai agama.
Bahkan dalam pemerintahan Ahmadinejad, Tehran sangat aktif menjalin hubungan dengan negara-negara anti imperealis. Iran sangat dekat dengan negara-negara seperti Venezuela, Bolivia dan Nikaragua. Padahal ketiga negara tersebut bukan termasuk negara muslim. Pada prinsipnya, pemerintah Iran menentang kezaliman. Bahkan, hal itu menjadi prinsip dasar pemerintah Iran. Pendiri Revolusi Islam Iran, Imam Khomeini semenjak awal menyebut AS sebagai Setan Besar. Ini menunjukkan bahwa Iran setelah revolusi Islam menunjukkan dirinya sebagai penentang kezaliman di dunia.
Seraya mengagumi perjuangan para pejuang Revolusi Islam Iran dalam melawan dinasti despotik Shah, AM Fatwa dalam pidatonya di KBRI Tehran yang dihadiri wartawan IRIB, mengatakan, “Perjuangan mereka memang luar biasa. Itu bisa dilihat dari metode penyiksaan dinasti Shah yang sangat keji. Untuk itu, sangatlah wajar bila revolusi Islam terjadi di negara ini..”
Sebelumnya, Kantor Berita Antara melaporkan, AM Fatwa mengatakan, ” Ada perbedaan antara Indonesia dan Iran dalam proses pasca revolusi di Iran dan reformasi di Indonesia.” Ia menambahkan, proses rekonsiliasi antara para pendukung rezim lama dengan pendukung reformasi telah terjadi pasca reformasi 1998, di Indonesia. Dikatakannya, “Proses rekonsiliasi tersebut telah membawa Indonesia menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.”
Pada faktanya, para pejuang Revolusi Islam Iran saat itu menjatuhkan sistem dinasti dibawah kendali Shah yang sangat lalim. Berbeda dengan Indonesia, para pejuang reformasi bukan berniat menjatuhkan sistem, tapi ingin melengserkan Mantan Presiden Indonesia Soeharto yang menyalahgunakan undang-undang di negara ini. Pasca revolusi Islam Iran, pemerintah Islam Iran tetap melibatkan kelompok-kelompok nasionalis. Bahkan, Presiden pertama Iran, Bani Sadr, bukan berasal dari kelompok Islam, tapi dari kelompok nasionalis. Namun sangat disayangkan, Bani Sadr tidak dapat menggunakan kepercayaan rakyat Iran dengan baik. Ia melakuan pengkhianatan terhadap bangsanya sendiri. Pada akhirnya, ia terpaksa melarikan diri ke Perancis. Dengan demikian, Iran juga masih melakukan rekonsiliasi dengan berbagai kubu dengan landasan anti-sistem dinasti despotik. Saat ini, Iran memperingati hari kemenangan Revolusi Islam Iran ke -30. Sejak berdirinya Republik Islam Iran hingga kini, Iran sudah mencapai berbagai kemajuan, termasuk di bidang teknologi nuklir sipil. Bahkan, Iran kemarin meluncurkan roket pengangkut satelit yang bernama Omid.
AM Fatwa dalam kunjunganya ke Iran juga ditemui oleh Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatollah Al-Udzma Sayid Ali Khamenei. Rahbar dalam pertemuannya dengan sejumlah mantan tahanan penjara anti kezaliman, mengisyaratkan masa-masa sulit dan pahit sewaktu di penjara, dan mengatakan, “Dengan perjuangan dan kesabaran di dalam penjara, kalian berhasil mengambil langkah maju dalam gerakan global kebangkitan Islam. Selain itu, setiap langkah resistensi kalian mendapat pahala di sisi Allah.”
Seraya membandingkan kondisi kekinian Rezim Zionis Israel dan pemerintah Amerika 20 tahun lalu, Rahbar mengatakan, “Kekuatan-kekuatan hegemoni yang sebelumnya memandang dirinya sebagai supremasi, kini semakin lemah dan berada di ambang kehancuran. Berlanjutnya resistensi menunjukkan kemenangan dan kekuatan ilahi.”
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran sembari menekankan tidak terkalahkannya jalan Allah dan para nabi, mengatakan, “Allah memberikan berkah pada kesabaran dan resistensi para mujahidin Lebanon dan Palestina melalui kemenangan di Lebanon Selatan dan Gaza. Setelah ini, para mujahidin lainnya juga akan mencicipi manisnya kemenangan.”
Dalam pertemuan itu juga dihadiri Samir Qantar, Sheikh Abdul Karim Ubaid dan Musthafa Dirani yang masing-masing adalah mantan tahanan penjara Rezim Zionis Israel, serta Jabbar Mawat Kasar dan Fadhil Al-Mousawi yang keduanya adalah mantan tahanan penjara Rezim Saddam Hussein.(irib)