Usai memberikan pidato dalam Konferensi Anti Rasialisme di Jenewa, Mahmoud Ahmadinejad mengadakan konferensi pers.
Presiden Iran itu mengungkapkan kegeliannya terhadap sikap negara-negara Eropa yang memboikot konferensi dan beberapa utusan negara Eropa yang melakukan aksi walkout saat dia menyampaikan pidato.
“Tindakan memboikot konferensi ini hanya bisa ditafsirkan sebagai dukungan terhadap rasialisme,” katanya.
Ia juga mempertanyakan jargon “kebebasan berpendapat” yang selama ini digemborkan dunia Barat. “Aksi mengganggu ceramah saya juga walk out tidak sesuai dengan jargon mereka yang megaku sebagai masyarakat yang menghargai kebebasan berpendapat. Nyatanya, mereka tidak siap mendengarkan pendapat yang berbeda dengan pendapat mereka.”
Ia juga sempat mengingatkan para wartawan tentang insiden di Universitas Columbia, Ney York. Menurutnya, sebagai orang yang diundang, dirinya layak diperlakukan sebagai tamu yang tidak semestinya dihujat secara biadab dalam forum akademi. Tapi kenyataannya, etika yang selama ini diklaim sebagai budaya bangsa Barat, tidak tercermin sama sekali. Bahkan, pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan telah disensor dan dipersiapkan hanya untuk menunjukkan sikap permusuhan.
Soal nuklir, Ahamdinejad mengungkapkan adanya manipulasi opini yang mencampuradukkan teknologi nuklir dan senjata nuklir. “Iran, sebagai negara yang secara sukarela menandatangani pakta anti senjata nuklir, secara masif dizalimi dan dilukiskan sebagai negara yang berambisi memiliki senjata nuklir. Ini dilakukan karena mereka tidak menginginkan adanya kesetaraan dalam penguasaan teknologi demi melestarikan hegemoni,” tukasnya.
Lebih lajut, Ahmadinejad mengatakan, “Jika teknologi nuklir disamakan dengan senjata nuklir, maka yang paling bertanggungjawab adalah negara-negara yang selama ini mengklaim sebagai adikuas.” (aljazeera).