Skip to main content

Ahmadiyah: “Kafir” atau “Berbeda”?

By September 27, 200810 Comments

Ketegangan sosial bernuansa agama kembali marak di bulan Ramadhan. Penyebabnya dua isu, yaitu amar makruf – nahi mungkar dan Ahmadiyah. Pelakunya juga dua, antara yang pro dan yang kontra.

Paling gres adalah keributan dan bentrok di depan gedung pengadilan antara para pendukung FPI dan para pendukung AKBP seputar kasus bentrok di Monas beberapa bulan lalu. Telivisi-telivisi memperlihatkan adegan keributan itu dan sempat menclose-up korban yang yang dihantam kepalanya dengan batu hingga mengeluarkan darah segar. Siapa yang salah?

Ahmadiyah, bila terbukti meyakini adanya nabi terakhir setelah Muhammad SAW, maka ada tiga opsi yang mungkin bisa dipilih, pertama, kafir karena dianggap keluar dari Islam; kedua sesat karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang benar; ketiga berbeda karena dianggap keluar dari mainstream (arus besar) pemahaman umum masyarakat tentang Islam.

FPI memilih opsi pertama, yaitu bahwa Ahnadiyah dianggap kafir, dan karenanya, tidak berhak diperlakukan sebagai bagian dari umat Islam dan menggunakan atribut-atributnya.

Pandangan dan sikap FPI terhadap Ahmadiyah didasarkan perspektif teologis. Artinya, karena keyakinan akan kenabian seseorang setelah Nabi Muhammad, menurutnya, menggugurkan keislaman. Secara konstitusional, FPI menganggap Ahmadiyah melakukan pencemaran terhadap salah satu agama resmi di Indonesia dan melakukan misionari di tengah masyarakat Islam. Karenanya, ia menganggap Ahmadiyah mesti dihentikan dan dihapus dari Indonesia.

AKKBB memilih opsi ketiga, secara teologis, AKKBB menganggap Ahmadiyah sebagai sebuah mazhab Islam yang melawan arus umum pemahaman Islam di Indonesia, dan karenanya ia layak dianggap “berbeda”. Secara konstitusional, AKKBB mengandalkan UUD yang dianggapnya telah menjamin hak setiap warga negara untuk memilih agama dan keyakinan dan pendapat.

FPI dan AKKBB sama-sama memiliki hak untuk mengemukakan pendapat tentang apapaun, termasuk tentang Ahmadiyah. Yang sama-sama tidak dimilikinya adalah mengganggu ketertiban umum dan mengganggu keamanan, baik dalam posisi mendukung maupun menentang. Keduanya berpeluang untuk melakukan tindakan anarkisme dan terjebak dalam fanatisme, fanatisme konservatif dan fanatisme liberal.

Bila kasus ini terus berlarut dan menyita banyak energi saat bangsa ini perlu mengatasi masalah-masalah ekonomi dan pendidikan, dan aparat tidak mampu bersikap tegas, maka mungkin ada baiknya bila dilakukan referendum, dan menyerahkannya kepada rakyat. Bagaimana menurut Anda?