Disebut Quran karena bisa dibaca. Disebut Kitab karena bisa ditulis. Disebut Dzikr karena bisa diingat. Disebut Furqan karena jadi pembeda kebenaran dan kepalsuan.
Al-Quran tidak diturunkan atas umat. Andai diturunkan atas umat, maka umat jadi kumpulan para nabi dan manusia suci. Al-Quran, sebagai wahyu, diturunkan atas manusia paling suci dan dikawal oleh manusia2 suci.
Al-Quran sebagai wahyu yang diturunkan atas Nabi Muhammad SAW dan dikawal oleh manusia-manusia pilihan adalah petunjuk bagi orang-orang bertakwa (هدى للمتقين).
Al-Quran yang menjadi petunjuk bagi orang-orang bertakwa disampaikan berupa ajaran interpretatif menjadi petunjuk kedua bagi semua manusia (هدى للناس).
Orang-orang awam mengikuti al-Quran melalaui penafsiran orang-orang bertakwa.
Al-Quran berupa wahyu hanya terjaga dalam area kesucian. Al-Quran berupa sebagai ajaran yang disarikan dari wahyu adalah hak istimewa orang-orang bertakwa.
Al-Quran bagi yang mengerti maknanya adalah samudera ilmu dan hikmah, dan bagi yang tidak mengerti maknanya adalah sumber inspirasi, motivasi juga terapi.
Al-Quran bukan buku yang bisa ditafsirkan setiap orang. Untuk menafsirkanny@, diperlukan sejumlah ilmu supaya aplikatif, relevan dan selaras dengan akal sehat.
Ilmu-ilmu yang diperlukan sebagai bekal menggali isi al-Quran disebut ulumul-Quran yang menghimpun sekitar 10 ilmu dan sejumlah ilmu penunjang lainnya.
Ilmu-ilmu Al-Quran meliputi tafsir, takwil asbabunnuzul, qiraat dan tajwid, filologi, morfologi, sejarah pencatatan Quran dan rasm, khath, gramatika dan lain sebagainya.
Begitu sakral kitab ini hingga mengomentari/menafsirkannya tanpa kompetensi dan kehati-hatian bisa dianggap menodainya dan berdusta atas nama Tuhan.
Al-Quran mempunyai 2 dimensi; eksotetik (lahir) yang harus dipahami secara rasional, dan esoterik (batin) yang mesti dieksplorasi secara intuitif.
Sayangnya, tidak sedikit orang yang tidak mematuhi asas kompetensi menafsirkan al-Quran secara literal dengan bekal ala kadarnya hingga membonsainya dengan penafsiran yang justru mereduksi isinya dan menampilkannya seolah karya manusia.
Untuk dapat memahami makna lahir Quran diperlukan intelektualitas prima dan untuk menangkap batinnya perlu spiritualitas maksimal supaya tafsirnya komprehensif.
Agamawan dengan kewaraan intelektual tidak gampang mengutip ayat al-Quran karena menghormatinya dengan kerendahan hati dan mnyadari keterbatasan pemahamannya.
Karena Quran ditafsirkan dan dijelaskan secara literal, ia kadang terkesan tidak up to date dan tidak aplikatif, muslim modern lebih menyimak motivator ketimbang ulama.
Bahkan karena mindset skripturalisme yang menjangkiti orang orang ekstremis, ayat suci yang dikutip serampangan bisa dijadikan justifikasi pengkafiran dan agresi.
Sejarah melaporkan bahwa al-Quran sering dimanipulasi dan dieksploitasi demi kepentingan status quo dan hasrat sektarianisme dan tribalisme.
Khawarij dan para penguasa gemar menjadikan Quran sebagai alat represi. Ali bin Abi Thalib yang dihormati Syi’ah dan Sunni adalah korban teragungnya.
Kini banyak modus radikalisasi generasi muda Muslim berkedok program tahfiz dan aktivitas yang dikaitkan dengan Quran dengan dukungan dana berlimpah dari kekuasaan asing yang secara faktual terbukti menjadi penyebar radikalisme dan ekstremisme melalui paham keagamaan yang kaku, intoleran dan mengagungkan kekerasan berbungkus salaf.
Kini umat Islam terutama di Tanah Air sedang mengalami fase paling krusial karena menjadi target radikalisasi dan ekstemisasi. Indikasi-indikasinya kian tampak. Propaganda pengkafiran, penyesatan, pensyirikan, pembidahan dan segala ujaran kebencian disebarkan melalui media sosial dan situs-situs yang secara terang-terangan menolak Pancasila dan menyebarkan doktrin yang hanya mengakui hak hidup orang orang yang sekeyakinan.