Alat Bantu

Alat Bantu
Photo by Unsplash.com

Setiap hari saat berjalan menuju kantor, saya melintasi jalan Kalibata. Mata saya terpaksa melihat deretan kios-kios kecil dengan nama awalan yang sama, yaitu A, mulai dari A-Song sampai A-Pes. Sepintas aksara-aksara itu terkesan seperti nama-nama yang berasal dari salah satu marga besar Tionghoa. Tapi, setelah mengetahui bahwa semua kios itu menggunakan nama yang diawali dengan A, maka segera dapat diketahui bahwa itu mungkin hanya imitasi atau duplikasi dari sebuah kios terkenal yang telah melegenda.

Yang menarik perhatian saya bukan namanya, tapi barang dagangan yang dijualnya. Bayangkan semuanya menawarkan jualan yang agak ‘asing’, yaitu pil biru (sebutan sopan untuk viagra dan obat pemantik libido). Lebih mengejutkan lagi, kios-kios kecil yang tampak sepi itu (karena konsumen lebih ‘aman’ membelinya via pemesanan telepon, atau semacam delivery), menjual ‘alat bantu’ seks ( sex toys). Wow! Ini sudah super saru. Padahal, menurut para pakar psikologi, segala perangkat begituan dapat menimbulkan dampak adiktif berlebihan karena sensasi yang diberikan berbeda dengan kemampuan yang dimiliki manusia. Na’udzu billah. Sejak kapan itu terjual bebas? Dari mana datangnya? Inikah globalisasi?

Globalisasi telah menimbulkan dampak yang signifikan dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Ia merupakan proses internasionalisasi seluruh tatanan masyarakat modern. Pada awalnya, proses ini hanya pada tataran ekonomi namun dalam perkembangannya cenderung menunjukkan keragaman. Malcolm Waters mengemukakan bahwa ada tiga dimensi proses globalisasi, yaitu: globalisasi ekonomi, globalisasi politik, dan globalisasi budaya. Dari sisi dimensi globalisasi budaya, muncullah beberapa ragam space atau ruang budaya, seperti: etnospace, technospace, financespace, mediaspace, ideaspace, dan sacrispace. Dengan demikian, universalisasi sistem nilai global yang terjadi dalam dimensi kebudayaan telah mengaburkan sistem nilai ( value system) kehidupan manusia, khususnya bagi mereka yang hidup di negara-negara berkembang. Tragisnya, Indonesia, yang dikenal sebagai negara dengan myorita muslim terbesar, adalah salah satu negara yang paling ganjen terhadap globalisasi budaya dan gaya hidup.

Di dunia kini, orang yang tanpa secuil pun rasa malu mengekspresikan perilaku seksual mereka (yang kadang dalam tingkatan tertentu dianggap sebagai ekspresi kasih-sayang) di tempat-tempat publik. Dan, perilaku demonstratif demikian justru membuat orang lain yang ada di sekitarnya merasa malu. Saking malunya, orang lain pura-pura tidak melihat apalagi menegur dan melaporkan kepada aparat hukum dengan dalih perbuatan nista.

Menurut para spiritualis Islam, semua perbuatan dan sikap buruk bersumber dari al-haun, rasa rendah diri, kekerdilan, dan kelemahan memahami kodratnya sebagai makhluk sempurna. Itulah awal petaka, yaitu ketika rasa malu dipandang sebagai penghambat ekspresi kebebasan. Allah berfirman, Janganlah merasa rendah diri dan bersedih. Kalian adalah yang unggul apabila kalian beriman.

Akibat dari rasa rendah diri (bukan rendah hati) inilah, seseorang merasa perlu menggunakan “alat bantu keburukan” untuk untuk mendongkrak rasa mindernya. Kadang ia menggunakan arogansi demi mendongkrak kekerdilan dirinya. Ia sangat memerlukan alat bantu itu agar bisa berdiri sejajar dengan orang lain. Kadang karena terlalu lemah untuk menyadari batas kemampuannya, ia pun tak tahan menjadi penonton kesuksesan orang lain. Saat itulah ia memerlukan alat bantu berupa seni adu domba dan fitnah demi mengalihkan perhatian orang banyak terhadap kekerdilan dan ketidakmampuannya. Sebaliknya, untuk melakukan perbuatan baik dan menghindari perbuatan buruk, diperlukan pula sejumlah alat bantu. Salah satunya adalah rasa malu.Bila software tidak lagi terpasang dalam jiwa, maka ia akan melakukan perbuatan yang memalukan tanpa sadar. Itulah yang membedakan antara normal dan abnormal.

Bila pengetahuan tentang Allah, dengan siksa dan ridha-Nya, dijadikan sebagai sumber motivasi, maka rasa malu bukan saja efektif sebagai alat bantu kebaikan, namun juga layak menjadi tujuan, karena ia adalah iman. Nabi bersabda, “Iman itu terdiri atas tujuh puluh bagian. Yang paling tinggi adalah kalimat ‘la ilaha illallah’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri di jalan. Dan malu adalah bagian dari iman.” (Bukhari). (copyright www.adilnews.com)

Read more