Aleppo, kota yang menjadi selang oksigen terakhir bagi Barat dan Saudi, bebas. AS kalang kabut. Saudis-saudis panik.
Penghancuran Suriah yang anti proposal perdamaian AS menjadi titik temu antara Barat yang gemar bicara demokrasi dan Sekulerisme dan kelompok-kelompok radikal yang anti demokrasi dan Sekulerisme
Inilah kisah perselingkuhan paling hot abad ini. Media-media ekstremis menyerukan jihad menjatuhkan rezim Assad. Media-media mainstream yang menyajikan adonan pahala dan paha dalam tayangan-tayangannya mengecam Assad membeo sentra-sentra media kapitalis.
Barat dan cecunguk-cecunguk dekilnya yang kalah di arena nyata berusaha menang di meja redaksi dengan memutarbalik fakta, menyebarkan dusta dan mengobarkan provokasi sektarian.
Selama 5 tahun rezim Turki yang menjadi proxi AS mengobok-obok tetangganya, Suriah, dengan menternak, mempersenjatai, mendanai, melatih kelompok-kelompok bersenjata mancanegara.
Kebijakan politik dalam negeri Asad punya cacat.Tapi sikap luar negerinya trutama trhdp proposal damai AS dan dukungannya atas Hamas sangat tegas.
Semua yang berakal tahu bahwa penjatuhan Asad karena penolakannya untuk keluar dari koalisi resistensi thdp proposal damai AS di Timteng.
Hamas, sejak pecah dari Fatah dan dicap sebagai oranganisasi teroris oleh AS, disupport habis-habisan oleh Suriah meski posisnya dalam liga Arab terkucil.
Saat rezim-rezim Arab menolak Hamas, Suriah mempersilakannya berkantor di Damaskus dan memberi Meshal fasilitas tingkat menteri untuk keliling dunia.
Sikap tegas Asad thdp AS dan Israel serta dukungannya atas faksi-faksi militer Palestina mengundang simpati pemuda-pemuda di dunia Arab. Bashar Asad memenuhi semua alasan untuk dianggap sebagai titisan Gamal Abdel Naser. Pemuda tampan dengan tinggi badan 190 cm ini mendukung Hezbollah.
Semua rayuan bantuan ekonomi dari Saudi dan rezim-rezin Arab sekutu AS ditolaknya. Janji normalisasi hubungan dengan AS juga tak membuatnya kemayu.
Suriah bukan negara kaya tapi Asad punya nasionalisme dan persahabatan. Rusia yang tak punya pengaruh di Timteng adalah sahabat setianya.
Itu semua menjadi alasan strategis bagi AS dan rezim anti demokrasi di Teluk terutama Saudi dan Qatar untuk memberi tugas Turki sebagai operator.
Satu-satunya cara efektif adalah menampilkan pemerintahan Asad yang sekular baathis sebagai rezim sektarian Syiah demi menciptakan konflik sektarian.
Bayangkan negeri dengan warga yang ramah dan situs-situs sejarah kuno dalam sekejap menjadi bak kelinci di tengah kepungan kawanan karnivora mancanegara.
Kedaulatannya diinjak-injak dan rakyatnya diadu domba oleh tetangga dan sesama Arab. Suriah ditampilkan sebagai pengganti Israel via manipulasi opini.
Sejak saat itu api sektarianisme kian membesar dan mengubah dunia Islam menjadi arena konflik sektarian dari ujung Afrika hingga akhir Asia.
Setelah gagal di Irak, tak rela gagal di Suriah, AS teriak meminta dukungan militer sekutunya di Eropa dan Arab serta Turki. Tapi lagi-lagi Asad membuktikan bahwa nama pemberian ayahnya tidaklah sia-sia.
Tapi api sektarianisme dan ekstremisme yang disulutnya di Suriah terlanjur membesar dan menyambar seluruh kawasan, termasuk Indonesia.
Indonesia yang tidak ikut-ikutan konflik terkena dampak aksi konyol "main api" AS, Saudi dan Turki di Suriah. Korupsi belum hilang, sektarianisme menghadang.