Alfian, 'Wartawan Detektif' Menanti 'Ayat Cinta'
Konstruksi raganya kurus (karena tidak punya jam tetap makan), rambut gondrong, rada bergelombang, meski tanda-tanda rontok di bagian depan kepala mulai 'menyapa' setiap yang menatapnya. Dengan gaya 'awut-awutan' dan pilihan warna 'buram' untuk kemejanya yang dipadu dengan jins, dan, jangan lupa, ransel berisi laptop yang nongkrong di punggungnya, profesinya mudah ditebak: wartawan atau aktivis LSM, dan status ekonominya gampang diketahui: keré.
Dia bukan sembarang wartawan, dan tentu saja bukan 'wartawan bodrex'. Dia adalah wartawam liar (pengganti kata freelance) karena memang berwatak proletar dan bergaya Hizbullah, meski tidak pandai berorasi dalam demo apalagi ikutan 'aksi mogok makan' (karena itu bisa menjadi 'aksi mogok hidup'buat jejaka ceking seperti dia). Beberapa kali menolakj tawaran untuk menjadi 'wartawan jinak' di bawah perusahaan media karena dia menentang rezim jurnalisme yang despotik dan kapitalistik.
Pengagum Michael Moore dan George Galloway ini bukan hanya 'wartawan liar', tapi wartawan luar biasa, karena punya indera penciuman terhadap konspirasi yang terbungkus rapi.
Dia bukan hanya 'wartawan luar biasa', tapi dia adalah 'wartawan detektif' (kata lain dari 'wartawan investigasi'). Penggemar "All The President Man" dan "Pelican Breif" ini punya keahlian memata-matai dan mencuri-curi kasus yang terlewat dari bidikan para 'wartawan reguler' (kata lain dari 'wartawan plus karyawan') yang menjadi hamba kitab suci media bernama 'deadline'. Karena itu, tidaklah mengherankan pemuda berwajah lembut namun menyimpan DNA Bugis ini pernah ditahsbiskan sebagai 'wartawan terbaik dalam investigasi' saat menulis laporan investigatif tentang nasib anak-anak yang putus sekolah akibat DOM di Aceh (sebelum perjanjian Helsinki, tentu) lalu diterbitkan dalam artikel kontroversial berjudul "Kejarlah daku, kau kusekolahkan".
Dia bukan hanya wartawan detektif, tapi juga seorang 'pesulap kata'. Dengan imajinasi dan improfisasinya yang 'ngalor ngidul' dia bisa mengubah tulisan 'amit-amit' menjadi 'imut-imut'. Kemampuannya 'mendadar' naskah mentah menjadi sebuah buku yang 'wajib dibaca', benar-benar mengagumkan.
Dia bukan hanya pesulap kata, namun punya talenta dalam sinematografi dokumenter. Beberapa hari lalu ia merampungkan serial dokumenter presiden-presiden RI sejak Bung Karno hingga SBY yang telah dibooking oleh sebuah televisi satelit.
Anak kos ini, Alfian Hamzah, namanya. Oya, nampaknya dia sedang mencari satu ayat cinta, bukan ayat-ayat cinta. Berani?