Aliran Sesat atau Aliran Sempalan?

Aliran Sesat atau Aliran Sempalan?
Photo by Unsplash.com

Suatu saat, sebuah stasiun TV sedang menayangkan cerita ditangkapnya seorang anak SMA yang dicurigai menjadi anggota kelompok Al-Qiyadah. Anak muda itu diborgol dan digelandang keluar dari sekolah tempatnya belajar. Melihat adegan itu, anak saya yang masih duduk di SMP, kontan nyeletuk : ”Yah, bukankah orang bebas beragama?”

Saya sempat terkejut mendengar celetukan anak saya itu. Tapi, segera otak saya berputar untuk memberikan jawaban yang memuaskan baginya. Namun, untuk sampai kepada jawaban saya itu, marilah kita coba jernihkan terlebih dulu persoalannya.

Ada sedikitnya dua masalah yang perlu kita bahas ketika kita bicara tentang aliran sesat. Pertama, apa yang dimaksud dengan ”sesat”. Tentunya dipandang dari sudut ajaran Islam. Kedua, apa seharusnya sikap kita terhadap aliran yang dianggap sebagai ”sesat” itu.

Dalam literatur standar, biasanya kita akan menemukan dua konsep sehubungan dengan aliran atau pemahaman terhadap Islam. Yang pertama mazhab, dan yang kedua firqah. Meski kadang ”mazhab” juga diterjemahkan dengan ”sekte”, adalah ”firqah” yang lebih tepat disebut demikian. Pada umumnya ”mazhab” melibatkan makna penganutan dalam jumlah besar – meski tak mesti merupakan mainstream – dan keberadaannya diakui oleh umat Islam selebihnya. Sebagai contoh, Syi’ah -- meski tak kurang-kurang dianggap sesat oleh sementara orang – tidak bisa disangkal ia merupakan suatu mazhab yang diakui keberadaannya. Beda halnya dengan ”firqah”. Meski pada awalnya bermakna netral, dalam pemakaiannya sehari-sehari kata ini memperoleh konotasi yang cenderung negatif. Selain jumlahnya yang relatif jauh lebih kecil, ada konotasi – meski tidak selalu – bahwa kelompok semacam ini tak diakui keberadaannya oleh umat Islam selebihnya. Firqah zindiqah adalah salah satu contoh ungkapan yang sering dipakai sehubungan dengan kata ini. Ima Ghazali bahkan memiliki suatu buku yang khusus ditulisnya mengenai masalah ini.

Barangkali kata zindiq memanglah istilah standar dalam bahasa Arab yang tepat dipakai untuk menunjuk pengertian ”sesat” dalam ungkapan ”aliran sesat”. Dalam bahasa Arab, kata ”zindiq” berarti ”keluar dari agama”, baik karena memiliki akidah yang dianggap bertentangan dengan yang diterima luas, maupun – yang ini biasanya diterapkan atas individu – karena melakukan praktik-praktik yang bertentangan dengan syari’ah. Dalam konteks heresiografi – ilmu tentang heresy (aliran menyimpang) – Islam, kata ”firqah” dimaknai sebagai kelompok yang menyempal dari Islam mainstream. Yakni, dari mazhab-mazhab yang diakui. Memang, kata ”firqah” berasal dari akar fa-ra-qa yang bermakna ”berpisah” atau menyempal.

Nah, dari sini saja sudah jelas betapa kata ini memiliki makna relatif. Yakni, terkait dengan suatu rujukan tertentu, alias tidak mutlak. Dengan kata lain, sebuah sekte dianggap firqah karena ia berbeda dari apa yang diakui luas, ia menjadi suatu firqah terhadap mazhab yang diakui. Misal, bisa saja Syi’ah -- meski ia termasuk dalam mazhab yang diakui -- disebut firqah karena perbedaannya dengan mazhab ahlus-Sunnah. Bukan hanya berbeda, biasanya firqah cenderung dianggap sebagai menyimpang, akibat perbedaannya dengan mazhab standar yang dipakai sebagai rujukan. Dalam buku al-Milal wa al-Nihal – karya heresiografi paling standar dalam kepustakaan Islam – misalnya, mazhab Syi’ah cenderung digambarkan sebagai aliran Islam yang menyimpang, persis karena penulisnya adalah ahlus-Sunnah (yang cenderung eksklusivistik) .

Pemahaman ini penting dimiliki agar kaum Muslim tak mudah menuduh suatu jenis pemahaman terhadap Islam sebagai sesat. Atau, setidaknya, sifat ”sesat” itu mesti difahami sebagai ”sesat jika dilihat dari sudut suatu aliran tertentu, betapa pun aliran itu besar dan dianggap mainstream”. Pemahaman seperti ini juga yang perlu kita pakai ketika membaca fatwa MUI tentang aliran yang dianggapnya sesat, atau mengenai kriteria aliran sesat. Tanpa mengurangi apresiasi kita kepada MUI, yang memang sudah sewajarnya memiliki concern dan mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk menjernihkan pemahaman orang terhadap Islam, umat Islam juga berhak untuk tetap bersikap kritis terhadapnya. Sekadar contoh, di antara kriteria aliran sesat yang diumumkan MUI adalah ” meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar`i (Alquran dan as-sunah)”. Padahal kita tahu bahwa bukan hanya as-Sunnah – yang tidak qath’iy (pasti), bukan hanya dari segi periwayatannya (qath’iy al-wurud), melainkan juga dari segi pemahamannya (qath’iy al-dilalah) – al- Qur’an pun – meski qathiy dari segi wurud – tidak selalu qath’iy dari segi pemahaman atau penafsirannya. Juga kriteria ” melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaidah tafsir”. Rasanya, meski ada kaidah tafsir yang diterima secara luas, tak semua orang sepakat mengenai hal ini. Ada yang memujikan kaidah tafsir literal (harfiah) sebagaimana sebagian kaum salafi, kemudian ada berbagai metode tafsir lain – seperti tahliliy, maudhu’y, muqaran atau muqarin -- malah ada ta’wil. Yakni tafsir esoteris (bathiniy) yang didasarkan pada keyakinan bahwa al-Qur’an memiliki banyak lapis arti.

Jadi, persoalannya tak semudah itu. Khususnya jika menyangkut aliran pemahaman yang penganutannya relatif luas, telah berumur panjang, dan bertahan atas ujian waktu, serta dikembangkan oleh tokoh-tokoh yang dianggap memahami Islam dengan baik. Termasuk Ahmadiyah (dalam lingkungan Ahlus-Sunnah) , dan Baha’iyah, Druze (dalam lingkungan Syi’ah), dan sebagainya. Bahkan untuk sekte-sekte yang lebih kecil, barangkali lebih tepat kita menggunakan istilah yang sedikit banyak lebih netral, yakni aliran sempalan (splinter sect) ketimbang aliran sesat.

Nah, dari sini, sampailah kita kepada jawaban saya terhadap celetukan anak saya yang masih duduk di bangku SMP itu.

Saya katakan bahwa, pada dasarnya, sesuai dengan ajaran asasi Islam, orang bebas beragama. Bahkan, orang bebas untuk tidak beragama. Fa man syaa’a fal-yu’min, wa man sya’a wal-yakfir, demikian ajaran al-Qur’an. Siapa yang mau silakan beriman, dan siapa yang mau silakan menjadi kafir. Namun, ada sedikitnya dua hal yang menyebabkan kaidah asasi itu perlu dikualifikasi atau diberi catatan. Pertama, tanpa mengurangi kebebasan dalam memiliki keyakinan, tetap ada batasan bagi seseorang untuk menyatakan bahwa pemahamannya masih sesuai dengan Islam, dan bahwa dia masih berhak untuk menyebut dirinya sebagai Muslim. Sebagiannya saya kira telah dengan baik diungkapkan dalam 10 kriteria MUI, termasuk : Mengingkari rukun iman dan rukun Islam, meyakini turunnya wahyu setelah Alquran, mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Qur’an, mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul, mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir, atau mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah (yakni, mungkin perlu ditegaskan, yang termasuk dalam prinsip-prinsip dharuriy dalam agama, termasuk shalat, dan sebagainya). Dengan kata lain, seseorang atau suatu kelompok boleh memiliki pemahaman yang berbeda, tapi orang atau kelompok tersebut perlu berbesar hati untuk tidak menyebut dirinya Muslim jika melanggar kriteria-kriteria itu. (Sebagian) penganut Baha’i, misalnya, telah berani mengambil sikap untuk tak menyebut dirinya bagian agama Islam, melainkan agama Baha’i.

Kedua, memang di dalam persoalan seperti ini ada juga masalah ketertiban sosial. Jika semua orang dibebaskan untuk menyebut dirinya Muslim, atau menyebut dirinya penganut agama apa pun yang diakui, seraya mengumbar pemahaman yang menabrak berbagai akidah dan kaidah yang diterima luas, maka dampaknya bisa mengganggu. Khususnya sehubungan dengan kelompok masyarakat yang memang rentan terhadap kemungkinan terpengaruh dengan berbagai faham akibat kekurangan wawasan, atau berada dalam situasi psikologis yang tidak normal, sebagai tampak dalam berbagai penelitian sosiologis mengenai masalah ini. Kenyataannya, dunia sudah menyaksikan munculnya kelompok-kelompok seperti People’s Temple yang mengajak pengikutnya bunuh diri beramai-ramai. Atau juga kelompok Aum Shinrikyo yang meng-gas orang-orang tak berdosa di stasiun bawah tanah Jepang.

Tapi, akhirnya, kalau pun ada ruang bagi kita untuk mempersoalkan keyakinan seseorang, hendaknya hal ini dilakukan secara bijaksana. Adalah berlebihan, misalnya untuk memborgol seorang pelajar SMA dan menggelandangnya keluar kelas di depan teman-temannya, bahkan juga di bawah sorotan kamera media massa, karena ketidaktahuan sang anak. Apalagi mempergunakan kekerasan dan anarkisme dalam menghadapi masalah aliran-aliran sempalan seperti ini. Jika pun cara-cara persuasif gagal memecahkan masalah ini, hendaknya sebuah pengadilan yang benar-benar adil dapat mengambil-alih masalah ini, dan mengambil keputusan bijaksana yang tidak justru menimbulkan persoalan ketidakadilan atau pengebirian terhadap hak-dasar semua orang untuk memiliki kepercayaan yang diyakininya. Wal-Laahu a’lam. (Haidar Bagir/www.adilnews.com)

Read more