AMERIKA KALAH LAGI!
Beberapa hari lalu kantor berita IRNA mengutip pernyataan salah satu pejabat Kemlu Republik Islam Iran, Rasul Mousavi. Intinya, ia menyatakan bahwa Gedung Putih akhirnya menyadari realitas kekalahan militernya di Afghanistan. Akibatnya, Washington pontang-panting menyelamatkan diri dan berusaha keluar dari negara yang sudah belasan tahun dijajahnya dengan brutal itu.
Modus manipulatif agar publik menyangka rezim Amerika Serikat hengkang dari Afghanistan bukan akibat kalah secara memalukan melainkan berdasar "kebijakan strategis semata" adalah dengan memulai negosiasi dengan "Taliban". Suatu kelompok lokal yang dicap dan dipropagandakan rezim arogan Amerika Serikat selama ini sebagai teroris, pasca mengadopsi konsep "memerangi terorisme"--sebuah preteks (dalih) untuk menyerang dan memperluas dominasi atas negara-negara target, termasuk Afghanistan.
Melalui upaya berkelanjutan untuk menilai dan mengantisipasi pelbagai konsekuensi penarikan pasukan AS dari Afghanistan, Iran dengan sigap mengambil inisiatif yang sangat strategis. Republik Islam itu menjadikan dirinya tuan rumah bagi pertemuan dan perundingan antara perwakilan rezim Kabul dengan kelompok Taliban. Tujuan utama pertemuan itu adalah menjembatani perbedaan pandangan kedua pihak sekaligus mengantisipasi kemungkinan terjadinya perang saudara.
Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif menegaskan dukungan negaranya untuk rakyat Afghanistan. Zarif juga mengungkapkan optimismenya terhadap kemampuan rakyat Afghanistan dengan semua sekte politiknya, dalam menginagurasi masa depan yang penuh damai.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov menganggap penarikan pasukan AS secara efektif sebagai pengakuan atas kekalahannya vis-a-vis rakyat Afghanistan. Namun penarikan pasukan itu juga membuka kemungkinan meningkatnya risiko serangan teroris di Afghanistan akibat keengganan rezim Kabul membentuk pemerintahan transisi; kemungkinan itu juga memang sengaja ditinggalkan Washington agar solusi militer tetap ada di atas meja.
Apa sebenarnya tujuan Iran di balik upayanya melintasi garis pemukiman Afghanistan? Akankah penarikan AS menjadi peluang untuk memperluas pengaruh Iran?
Akhir Juni lalu, surat kabar Iran, Kayhan yang berafiliasi pada Pemimpin Tertinggi, melaporkan bahwa “Taliban saat ini berbeda dengan Taliban masa lalu yang suka memenggal kepala orang.” Surat kabar itu menunjukkan bahwa keuntungan Taliban baru-baru ini tidak dicapai dengan melakukan "kejahatan mengerikan" seperti yang dilakukan kawanan "Negara Islam" di Irak. Seraya itu ditambahkan bahwa para ekstremis dalam gerakan itu mengisyaratkan mereka tidak punya masalah dengan mazhab dan kaum Muslim Syiah.
Ungkapan senada juga disuarakan Hossam Rezaei, editor urusan luar negeri untuk kantor berita Tasnim, yang berafiliasi dengan Korps Pengawal Revolusi Islam Iran. Ia mengatakan kepada saluran televisi Iran bulan lalu bahwa "tidak ada perang antara Syiah dan Taliban di Afghanistan."
Dalam konteks ini, aliansi tribal di Afghanistan utara mewakili salah satu sekutu Iran yang paling menonjol di wilayah Afghanistan, bersama dengan milisi Fatemiyoun (Syiah Hazara). Komandan Pasukan Quds Iran, Ismail Qaani, berhasil menjalin kerjasama militer yang erat selama tahun-tahun perang saudara di era 1990-an.
Akankah Taliban edisi "reborn" ini masuk dalam poros perlawanan dan menjadikan Afghanistan sebagai sekutu Iran bersama Suriah, Irak, Yaman, dan Lebanon? Tentunya perlu bersabar untuk memastikan itu sesuai dinamika dan perkembangan di kawasan.
Pastinya, untuk kesekian kali Amerika Serikat dipukul KO dan terusir secara hina dari negara yang dikangkanginya secara ilegal dan brutal selama belasan tahun. Barangkali sudah saatnya rezim Hollywood bikin Rambo versi baru lagi.