Skip to main content

Penganiayaan anak pejabat ditjen Pajak hanyalah satu dari mungkin ratusan peristiwa negatif dan perikaku antisosial kelompok feodalis penikmat oligarki di tengah masyarakat. Kasus itu dan lainnya yang tak terekspos menguak betapa bobroknya moral dalam sirkel kekuasaan.

Seolah sudah jadi hukum tak tertulis, anak orang kaya, anak pejabat, anak tokoh ormas besar, anak tokoh parpol besar, bahkan anak agamawan terkemuka punya privilege di level pusat dan daerah. Mereka boleh sombong, pamer harta, bicara kasar, pasang wajah sangar, tak mengikuti prosedur, menyepelekan orang lain dan tak tersentuh yang semula dibangun demi melayani masyarakat.

Ironisnya, hukum rimba warisan Orba ini seakan diterima dan dianggap wajar. Indikatornya ialah banyak warga biasa mencari backing atau dekeng bila berurusan dengan hukum atau menggunakan relasi kerabat dan sahabat alias “orang dalam” bila sedang mengurus administrasi perizinan, tender dan sebagainya.

Bila tak punya dekeng dalam perkara hukum dan relasi dalam urusan birokrasi, ada jalan alternatif yang selalu tersedia. Semua sama-sama mengerti. Aturable gitulah. Semua dilakukan demi memperoleh hak istimewa berupa kebebasan dari tanggungjawab kewarganegaraan.

Orang-orang yang belum dianggap masyarakat ini umumnya paling lantang bicara tentang agama, fasih bernarasi tentang nasionalisme dan jargon-jargon besar lainnya yang pada faktanya hanya dijadikan sebagai alat gertak atau bedak.