Seberapa penting sih vaksinasi? Benarkah bumi itu datar? Apakah telur baik untuk dikonsumsi? Di era medsos seperti sekarang, bukan cuma pakar yang menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Para penganut teori konspirasi, orang awam sok tahu, hingga pesohor yang menyesatkan juga ikut-ikutan menjawab.
Masalahnya bukan lagi pada “nilai” (benar/salah, akurat/tidak) jawabannya. Tapi pada “fungsi” jawaban tersebut, misal untuk mendramatisasi atau sebaliknya, entertainisasi, popularisasi, folowerisasi, dan sejenisnya.
Lebih dari itu, kebisingan arus komunikasi dan informasi mutakhir juga membuat penjelasan para pakar hanya lamat-lamat terdengar di telinga khalayak. Di sisi lain, jawaban para seleb medsos lebih banyak diikuti dan lebih dipercaya kendati amat berpotensi membahayakan banyak orang.
Mengapa kepakaran hari ini kehilangan begitu banyak rasa hormat yang diperolehnya selama bertahun-tahun dalam banyak bidang, di mana ketidakpastian dan pengetahuan yang kompleks begitu berharga?
Manusia zaman kiwari terpapar lebih banyak informasi daripada sebelumnya. Baik melalui teknologi atau peningkatan akses ke semua jenjang pendidikan. Namun, keuntungan ini juga ikut memicu gelombang kelumpuhan intelektual yang narsistik dan egaliter, yang lantas melumpuhkan perdebatan kreatif terkait masalah apa pun, baik politik, sosial, atau bahkan ilmiah.
Hari ini, semua orang tahu segalanya. Cukup sebentar berselancar di dunia maya atau memelototi Wikipedia. Lalu, manusia rata-rata manusia pun kontan menganggap dirinya secara intelektual setara dengan dokter atau diplomat. Setiap klaim, bahkan yang paling konyol sekalipun, menuntut ditanggapi dengan keseriusan yang sama. Sebaliknya, klaim yang bertentangan dapat diartikan tidak demokratis atau malah anti demokrasi.
Gejala ini adalah bagian dari gelombang luas anti-rasionalisme yang telah meningkat selama bertahun-tahun, yang termanifestasi dalam ledakan emosi dalam debat publik, dalam upaya mengaburkan garis pemisah antara kebenaran, opini, dan kebohongan, serta penyangkalan terhadap temuan ilmiah terkait banyak topik.
Tom Nichols, penulis The Death of Experience, menjelaskan bahwa penolakan terhadap para ahli ini terjadi akibat berbagai alasan. Termasuk di antaranya penyebaran Internet, munculnya model kepuasan pelanggan di pendidikan tinggi, dan transformasi industri berita menjadi industri hiburan 24 jam. Paradoksnya, penyebaran informasi yang kian demokratis, alih-alih menghasilkan publik yang terdidik, justru menciptakan kumpulan warga negara setengah terdidik atau tak tercerahkan dan suka mencemooh hingga marah-marah terhadap prestasi intelektual.
Meskipun telah memungkinkan lebih banyak orang mengakses lebih banyak informasi dari sebelumnya, internet justru memberi mereka “ilusi pengetahuan”. Khususnya saat mereka benar-benar tenggelam dalam kekacauan memilih apa yang mereka pilih untuk dibaca. Mengingat beragamnya fakta, rumor, kebohongan, analisis serius, dan berita palsu yang beredar di dunia maya, seseorang dengan mudah menyerah pada “bias konfirmasi”, kecenderungan mencari informasi yang hanya menegaskan apa yang telah diyakini, lalu mengamininya. Mereka hanya menerima fakta yang memperkuat interpretasi dan favorismenya, seraya mengeksklusifkan semua pernyataan yang menantang, apalagi menyangkal, apa yang mereka terima sebagai fakta.
Akibatnya, banyak warga dari semua lapisan semakin hidup dalam gelembung media masing-masing, mengonsumsi pandangan yang sama hanya untuk mereka sendiri. Ketika dihadapkan banyak bukti bahwa mereka keliru, mereka hanya memperkuat bias asli mereka. “Ini disebut ‘efek bumerang’,” kata Nichols, di mana orang menggandakan upayanya untuk menjaga narasi batin mereka agar tetap konsisten, tidak peduli seberapa jelas bukti bahwa mereka salah. Akibatnya, pandangan ekstremis diperkuat secara online, dan berita palsu menyebar seperti kobaran api. Dengan demikian, semua faktor ini bergabung untuk menciptakan gelombang irasional yang tidak hanya membunuh rasa hormat terhadap keahlian, namun juga melemahkan perdebatan rasional dan menyebarkan epidemi informasi yang salah.
Nichols mewakili keprihatinan mendalam sebagian orang yang konsisten dengan kesadaran epistemologis tentang penolakan yang berkembang terhadap kepakaran; seraya mencatat bahwa saat warga negara biasa percaya bahwa tidak ada yang tahu atau mengerti lebih dari orang lain, lembaga demokrasi sendiri akan menghadapi risiko jatuh ke kubangan populisme atau teknokrasi, atau paling buruk, kombinasi keduanya sekaligus. Matinya kepakaran bukan hanya eksplorasi fenomena yang berbahaya, tapi juga peringatan ihwal stabilitas dan kelangsungan hidup demokrasi modern di abad informasi.
‘Anarkisme epistemik” ini tidak hanya terjadi dalam isu-isu sains dan fenomena konkrit lainnya namun, bahkan lebih parah, terjadi dalam bidang agama dan isu-isu abstrak lainnya.
Teks-teks yang disebut hadis dengan dan tanpa rujukan dan komentar otoritatif bertebaran secara masif. Akibatnya, tak sedikit orang mendadak “ahli hadis” dan agama menjadi murah meriah.
Akibat teks mindset dan krisis silogisme, teks-teks tanpa proses takhrij oleh mujtahid atau mufassir sebagai bahan ngobrol dalam forum publik yang menghimpun banyak anggota dengan keragaman dan gradulitas intelektualnya.
Hasrat menjadi influencer dalam skala yang terkecilpun menciptakan lomba update wacana, kutipan dan nasihat keagamaan yang disajikan secara serampangan hingga agama dan teks suci terlihat rapuh terkulai kehilangan kekudusannya dalam kecamuk pemberontakan terhadap asas kompetensi yang dibangun dari abad ke abad oleh para pakar.
Pengetahuan adalah tolok ukur keunggulan antar sesama manusia, terutama pengetahuan abstrak dan transenden yang menanamkan nilai-nilai luhur. Sedangkan penolakan terhadap asas itu adalah citra degradasi insani yang bersumber dari keangkuhan. Allah menegaskan prinsip kepakaran dan pentingnya mengutamakan asas kompetensi, “Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9)
Kemuliaan setiap orang tidak ditentukan oleh kepandaiannya juga besarnya pengaruh citra dirinya dalam ruang publik tapi ditentukan oleh kesadaran akan batas kemanpuannya. Itulah kerendahan hati yang kian langka.