ANEKA TUHAN

ANEKA TUHAN
Photo by Unsplash.com

Yang terlihat sama meyakini satu Tuhan tak mesti sama dalam penyebutan (penamaan). Yang terlihat sama dalam penamaan Tuhan tak mesti sama dalam konsepsinya tentang Tuhan.

Ada banyak tuhan; Tuhan sebagai nama, Tuhan sebagai kata, Tuhan sebagai pikiran, Tuhan sebagai realitas.

Nama Tuhan Nama adalah sebutan untuk menandai benda, manusia, tempat, produk (misalnya merek produk) dan konsep, bahkan Tuhan.

Nama bisa menjadi tanda personal seperti Zaid dan Agus untuk dua orang, dan tanda impersonal untuk sesuatu yang universal, seperti spesies, kelompok dalam spesies dan lainnya.

Dalam bahasa Indonesia Tuhan sebagai sebuah nama tak berbeda dengan nama-nama lainnya. Tanpa memperhatikan makna terminologisnya, nama ini bisa diberikan sebagai sebutan untuk apapun. Namun sebagai nama khusus untuk sesuatu yang diyakini sebagai pencipta, Tuhan tak disandangkan pada manusia. Kalau pun dijadikan nama manusia, penyandangnya pasti disorot.

Kata Tuhan Umat manusia sejak awal kehadirannya di atas pentas sejarah telah memberikan nama yang berbeda-beda, sesuai dengan bahasa yang digunakan masing-masing, kepada kausa prima alam keberadaan. Orang Persia menyebutnya Yazdan atau Khoda. Orang Inggris menyebutnya Lord atau God. Kita menyebutnya Tuhan atau Sang Hyang. Dialah Tuhan Maha Sempurna.

Kata “tuhan” dalam bahasa Indonesia, misalnya, hampir memiliki arti yang berdekatan dengan “tuan’ yang berarti “majikan” atau “pemilik”, seperti tuan rumah yang berarti pemilik rumah, atau kata “Hyang” yang memiliki arti berdekatan dengan “eyang’ yang berarti kakek atau nenek. Hanya saja, yang perlu diperjelas apakah “tuhan” menunjuk “Sang pencipta” (al-khaliq) ataukah menunjuk “Yang disembah” (al-ilah, al-ma’bud).

Kata “tuhan” dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang lebih dekat dengan al-rab dalam bahasa Arab yang berarti “Maha Pengatur”. Seandainya “tuhan” atau “ilah” berarti “Pencipta” (al-khaliq), maka syahadat la ilaha illallah berarti “tiada pencipta selain Allah”. Tentu syahadat dengan arti seperti ini tidak mengecualikan para kaum Quraisy penyembah berhala dan kaum musyrikin lainnya, yang sejak semula meyakini Allah sebagai pencipta. (QS. Luqman: 25).

Kata yang memberikan signifikansi wujud Pencipta dalam al-Qur’an sangat banyak. Semuanya dapat dibagi dalam beberapa dimensi dan konteks.

Pertama, kata yang menunjuk Tuhan dipergunakan sebagai nama umum atau atribut universal.

Kedua, kata yang menunjuk Tuhan digunakan dalam dua bentuk sekaligus, universal dan personal.

Ketiga, kata yang menunjuk Tuhan digunakan sebagai nama umum semata. Keempat, kata yang mengandung arti kesempurnaan dan kebaikan. (al-asma’ al-hunsa).Kata “Tuhan”, misalnya, yang bila digunakan sebagai nama umum, maka huruf “t” di depannya dikecilkan, dan bila digunakan untuk menunjuk nama khusus, maka huruf “t” di depannya dibesarkan (Tuhan). Demikian pula “God” dalam bahasa Inggris atau “Khoda” dalam bahasa Persia. Karena itu bila ada yang mengartikan la ilaha illallah dengan “tiada tuhan selain Tuhan” bisa ditolerir.

Keelima, kata yang menunjuk “Tuhan” digunakan sebagai nama personal (alam syakhshi) semata.

Allah sebagai Kata dan Nama Dalam bahasa Arab, kata “Allah” sebagai lafdh al-jalalah (nama kebesaran) dipergunakan dan ditetapkan sebagai nama personal (alam syakhshi). Sedangkan al-rahman ditetapkan sebagai predikat khusus. Selain dari kata Allah (yang merupakan nama khusus) dan kata al-rahman (yang merupakan sifat khusus), tidak bersifat khusus. Itulah sebabnya mengapa kata “rabb”, ilah”, “khaliq” digunakan untuk selain Allah, bahkan “ra’uf” dan “rahim” digunakan untuk Nabi, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan, lagi penyayang terhadap orang-orang mukminn” (QS Al-Taubah: 128).

Atas dasar itu, kata “Allah”, baik berupa kata baku (jamid) ataupun kata olahan (musytaq), ditetapkan sebagai sebuah “nama personal”, dan ia tidak mempunyai arti selain Dzat Adikodrati SWT. Namun, tatkala Dzat Kudus tersebut tidak dapat diinderakan, maka untuk mengenali arti “Allah”, mereka menggunakan sebuah simbol yang berkonotasi secara eksklusif pada Allah seperti “Dzat yang menghimpun sifat-sifat kesempurnaan”, bukan berarti kata “Allah” ditetapkan untuk mengartikan rangkaian pengertian-pengertian ini.

Dengan demikian, jelaslah bahwa pembahasan seputar materi dan bentuk kata ini tidak akan dapat membantu kita untuk memahami artinya sebagai sebuah nama personal (alam syakhshi).

Kata personal Allah karena oleh sebagian besar mfassir dianggap sebagai ism makrifah dengan alif dan lam (kata tertentu), menurut kaidah kesusateraan, kurang tepat dikaitkan dengan sebutan panggilan “ya”. Karena itulah, bisa dipastikan kalimat “ya Allah” (wahai Allah) tidak terdapat dalam al-Qur’an. Kata “Ya” diganti dengan huruf mim yang di-syaddah-kan dan difathahkan pada bagian akhir kata Allah, maka jadilah “Allahumma”. Kata panggilan khas ini ditemukan 1 kali dalam surah ali-imran ayat 26, 1 kali dalam al-maidah ayat 114, 1 kali dalam al-anfal ayat 32, 1 kali dalam Yunus ayat 10, 1 kali dalam az-zumar ayat 46.

Namun kata Allah menurut sebagian ulama bukanlah bentuk makrifah dari ilah. Kata ini dianggap berasal dari bahasa Ibrani yang diadaptasi ke dalam bahasa Arab. Kata ini menurut mereka juga yang berarti dzat Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, dalam agama ortodoks Suriah bahkan sekte-sekte Kristen lainnya, diaykini sebagai kata atau nama personal Tuhan Bapa.

Konsep Tuhan Gambaran tentang sesuatu yang paling utama dalam benak setiap manusia dan diungkap denga aneka kata dan diberi ragam nama itulah Tuhan sebagai pikiran.

Kepercayaan pada “yang adikodrati”, merupakan bagian integral dari kehiupan manusia, baik terbentuk dalam sebuah lembaga transendental yang disebut “agama” maupun tidak diagamakan.

Kendati demikian, konsep dan keyakinan tentang Tuhan telah berkembang dan terpecah dalam beberapa aliran ketuhanan.

Tuhan sejak babak pertama peradaban sampai sekarang telah menjadi objek pengimanan dan penolakan. Manusia, sebelum dibagi dalam kelompok agama bahkan sebelum dibagi dalam kelompok monteis dan politeis, telah terbagi dalam dua aliran besar, ateisme dan teisme. Istilah ini berasal dari kata Yunani atheos (tanpa Tuhan) dari a (tidak) dan theos (Tuhan). Ia adalah aliran yang menolak adanya Tuhan Pencipta alam semesta. Dalam bahasa Arab disebut Al-ilhad.

Tuhan sebagai Realitas

Mestinya kata apapun takkan bisa menjelaskan RealitasNya. Ia bukan kata, bukan nama dan bukan pikiran.

Singkatnya, para mistikus sejati melihat Tuhan sebagai Realitas. Para filsuf dan para teolog memandangNya sebagai konsep. Para agamawan anti nalar menafsirkanNya sebagai Nama. Lainnya memperlakukanNya sebagai kata.

Read more