Dewan Keamanan (DK) PBB menjatuhkan sanksi bagi Iran melalui Resolusi 1747. Rancangan resolusi yang dirumuskan Inggris, Prancis, dan Jerman itu disepakati secara bulat oleh 5 negara anggota tetap dan 10 anggota tidak tetap DK PBB, termasuk Indonesia, Sabtu (24/3) di markas PBB, New York.
Resolusi ini memperluas sanksi atas Iran yang ditetapkan pada Desember 2006 dalam Resolusi 1737. Di antara isi Resolusi 1747 adalah larangan secara menyeluruh ekspor senjata Iran maupun pembatasan penjualan senjata ke Iran. Isi resolusi juga membekukan aset milik 28 lembaga atau perorangan yang berhubungan dengan program nuklir dan rudal Iran.
Iran juga dibatasi untuk memperoleh bantuan keuangan. DK PBB memberi batas waktu 60 hari setelah resolusi agar Iran menghentikan program nuklirnya. Jika diabaikan, DK bisa mengambil langkah yang lebih pantas berupa sanksi ekonomi, bukan militer.
Sikap Indonesia yang secara mendadak berbalik mendukung resolusi tersebut mengejutkan banyak pihak, karena bertentangan dengan sikap dan dukungan verbal yang kerap dilontarkan Pemerintah sebagai respon atas aspirasi rakyat dan terutama umat Islam yang direpresentasi oleh NU dan Muhammadiyah, melalui ketuanya masing-masing. Karena itulah, reaksi kekecewaan dan kecaman dari tokoh, pimpinan parpol dan cendekiawan terhadap sikap inkonsisten RI ini terus bermunculan. Bahkan sejumlah anggota DPR dari beberapa fraksi sedang berjuang mencari dukungan untuk menggunakan hak interpelasi terkait masalah ini.
Yang lebih menjengkelkan lagi adalah apologia Pemerintah yang dikemukakan oleh Dino Pati Jalal yang menyebut sikap RI tersebut sebagai realisitik. ”Indonesia sudah berusaha semaksimal mungkin agar resolusi yang dihasilkan DK PBB itu bersikap memasukan pandangan-pandangan dan elemen yang bisa membuatnya lebih berimbang dan konstruktif,” katanya.
Apologia demikian tentu sarat dengan ambivalensi dan sikap mendua yang sangat disesalkan oleh Iran, sebagai negara yang sangat mengharapkan sikap Indonesia sebagai sesama negara Islam dan anggota OKI. Duta Besar Iran di Jakarta, Behroz Kamalvandi, mengibaratkan Indonesia sebagai teman yang melempar batu pada temannya sendiri. ”Kalau seorang musuh melempar batu, itu bisa lukai tubuh, tapi kalau dilempar teman sendiri, itu selain melukai tubuh juga melukai hati,” ujar Behroz. “Luka tubuh akibat lemparan batu musuh bisa cepat diobati. Namun, luka hati akan lebih lama sembuhnya,” imbuhnya seusai bertemu Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Din Syamsuddin di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, beberapa waktu lalu.
Pemerintah SBY telah mencoreng wajah RI dengan mendukung resolusi sanksi ilegal DK PBB-nya Amerika atas Iran. Tindakan ini sangat tidak aspiratif karena telah mengabaikan opini umum masyarakat muslim di Indonesia yang direpresenstasi oleh NU dan Muhammadiyah serta ormas lainnya. Sikap ambivalen ini juga tidak mencerminkan UUD 45.
Lebih dari itu, SBY telah mengkhianati Iran yang telah menujukkan apresiasinya dengan menjanjikan alih teknologi nuklir secara gratis. Kunjungan bertubi-tubi pejabat tinggi Iran, Presiden Ahmadinejad, Ketua Parlemen Hadda Adel dan Ketua Mahkamah Agung Mahmood Syahrudi tidak ditangkap oleh Pemerintah SBY sebagai upaya diplomatik intensif Iran guna mengajak Indonesia untuk menunjukkan solidaritas keislaman dan ke-non-blok-an.
Blunder SBY, demi menyenangkan AS yang mengiming-iminginya dengan bantuan finansial yang tidak gratis, bisa menjadi bencana serius bagi karir politik SBY, bila intepelasi DPR berujung pada pada impeachment.
Dukungan ‘tak berarti’ Indonesia atas resolusi DK tersebut makin menunjukkan bahwa kebaradaan RI sebagai anggota tidak tetap DK PBB hanyalah asesoris dan simbolik karena sikap tersebut telah mengisolir Indonesia dari opini umum umat Islam di seluruh dunia. Indonesia bukan hanya anggota tidak tetap DK PBB karena tidak punya hak veto, tapi menjadi anggota yang ‘sangat tidak tetap’ karena sikapnya yang plin-plan. Tendensi ‘ingin diterima’ oleh semua pihak telah menjadikannya objek cemooh para penentang kezaliman dan anti imperilaisme di seluruh dunia.
Dukungan Qatar, yang negara Arab dan muslim, atas resolusi sanksi tersebut tidak semestinya dijadikan sebagai justifikasi atas sikap ambivalen karena, selain Qatar merupakan salah satu satelit AS di Teluk Persia, UDD mengamanatkan kepada kita untuk menentang kezaliman, tanpa mempertimbangkan peta politik dan sikap negara lain dan mendukung peningkatan teknologi sipil sebagai hak bagi setiap bangsa.
Semestinya SBY sadar bahwa resolusi sanksi ekonomi tersebut akan digunakan oleh AS sebagai restu untuk melakukan serangan militer terhadap Iran. Manuver militer AS di dekat Teluk Persia telah dimulai sebelum resolusi made in Paman Sam ini dikeluarkan, dan kini eskalasi ketegangan makin menonjol.
Yang menggelikan, ‘kawan pengkhianat’ ini masih berangan-angan menjadi penengah sambil menghimbau agar kedua belah pihak menghindari ketegangan. Dalam konferensi Liga Arab, yang tidak lebih dari sekedar reuni kacung-kacung Amerika, beberapa hari lalu, pernyataan ‘dagelan’ untuk menjadi penengah ini dilontarkan oleh JK.
Belum rampung tenggat 60 hari sejak Resolusi itu dikeluarkan, AS telah meningkatkan aktivitas militer di kawasan Teluk di dekat perbatasan Iran. Intelijen militer Rusia melaporkan adanya kesibukan yang dilakukan pasukan angkatan bersenjata AS dekat perbatasan Iran. Sebagaimanba dilaporkan sejumlah media massa, kapal induk The USS John C. Stennis yang mengangkut 3.200 pasukan dan sekitar 80 pesawat tempur, termasuk pesawat pembom F/A-18 Hornet dan Superhornet, delapan kapal pendukung, dan empat kapal selam nuklir sedang menuju Teluk. Sementara kelompok kapal induk serupa, USS Dwight D. Eisenhower, telah berada di Teluk itu sejak Desember 2006. AS juga sedang mengirimkan sistem anti-rudal Patriot ke kawasan itu.
Bila AS terhadap Iran terjadi, dan indikasinya makin jelas sejak resolusi itu dikeluarkan, maka, suka atau tidak, Indonesia, negara yang mengaku sebagai penganut politik bebas aktif, salah satu pendiri Gerakan Non Blok, anggota OKI, dan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, tidak bisa berlepas diri dan mengelak untuk ditunjuk sebagai salah pihak yang secara tidak langsung menikam Iran.