Skip to main content

ANIES BASWEDAN ANTARA EUFORIA DAN HISTERIA

By September 27, 2016No Comments

Hampir semua orang sepakat menganggapnya sebagai pribadi yang baik dan menarik. Dia cukup cerdas, terutama dalam olah bahasa tubuh. Mungkin visualitas menjadi salah satu pesonanya bagi sebagian orang yang tak mau lelah mempelajari alur pikir.
Kalau hanya cerdas, mungkin banyak yang secerdas dia bahkan lebih cerdas, namun juga beruntung. “Beruntung” adalah pilihan kata yang menggambarkan ketidakberdayaan manusia menganalisa sejumlah faktor. Dengan kata lain, semesta mendukungnya.
Tanpa kehendaknya, ia LAHIR dalam lingkungan keluarga terhormat dan tertular nama besar kakeknya yang dikenal sebagai tokoh nasionalis dari keturunan Arab. Kaya? Sudah pasti meski tidak raya. Dengan asupan, usapan dan suapan prima, semua alasan untuk bahagia berkerumun dalam hidupnya. Tak mengherankan bila dalam waktu singkat, panggung besar menyambutnya.
Latarbelakang pendidikannya cukup mentereng, walau kiprah akademik dan karya-karya intelektualnya belum atau pernah membahana. Amerika, tanpa menyebut nama universitasnya pun, sudah dianggap cukup untuk mendapat free pass “taken for granted”.
Walau kprah keorganisasian/kepemudaannya di Tanah Air nyaris tak terdengar, ia langsung didaulat memimpin sebuah universitas yang membawa nama besar pemikir muslim terkemuka Indonesia. Mungkin saat itu ia diharapkan menjadi suksesornya, meski sosok yang digeser karena kehadirannya, lebih newakili pemikiran cendekiawan terkemuka itu. Euforia sering mengalahkan realitas.
AB selalu menarik. Tapi politik tak peduli soal itu. Ketika muncul sebagai anggota dan jubir tpf kasus cicak dan buaya, banyak yang berdecak kagum. Saat duduk di Badan Kehormatan KPK, ia menjatuhkan hukuman administratif kepada ketua KPK, orang-orang angkat topi. Menjelang Pilpres 2014 saat ikut konvensi Demokrat, tak banyak orang berkomentar. Waktu Jokowi mengangkatnya sebagai timses, orang-orang menyanjungnya. Pada waktu reshufle, ia digeser dari posisi Mendikbud, banyak orang menyayangkan.
Kini, ketika diminta beberapa parpol untuk maju sebagai cagub dalam Pilkada DKI 2017, pro kontra meletus.
Mengejutkan. Orang yang sempat memimpin universitas yang didirikan oleh pelopor Islam moderat -yang juga dianggap tokoh liberal dan pro sekularisme secara simsalabim maju sebagai cagub dari partai yang notabene anti sekularisme. Pribadi yang dikenal toleran terhadap aliran lain dalam Islam juga terhadap agama lain tiba-tiba rela diusung oleh kelompok yang diasosiasikan dengan wahabisme.
Terlepas dari hiruk pikuk seputar pribadi berparas “charming” ini, kita memang sering terjebak dalam dua kutub, euforia dan histeria. Mestinya kita tidak tekan semua pegas untuk mendukung atau menolak, agar tak kecewa dan menjadi mangsa provokasi politik berkedok solidaritas sekeyakinan yang pasti merugikan kita semua, bangsa Indonesia.