Dinamika politik di Indonesia tak selalu ditentukan oleh fenomena namun kadang dibentuk oleh nomena dan misteri. Karena itu, yang menurut data perolehan suara dalam pemilu sebelumnya dan kalkulasi para ahli statistik politik berpeluang besar karena kader partai apalagi bagian dari dinasti kekuasaan kadang malah melorot jauh.
Anomali ini pernah terjadi saat popularitas SBY yang semula hanya seorang menteri dan jenderal kalem sontak melejit dan terpilih sebagai presiden mengalahkan Megawati.
Mungkin karena digempur tanpa jeda dengan aneka opini negatif dengan narasi-narasi tajam oleh banyak buzzer dan influncer, Anies yang semula terkesan dekat kelompok intoleran kini dapat dukungan dari figur-figur moderat dan nasionalis. Salah satunya adalah Akbar Tanjung yang mengaku bangga yuniornya di KAHMI jadi capres. Ini juga menjadi indikator suara elit dan massa Golkar tidak solid dalam mengusung Ketumnya sebagai capres
Yang juga bisa dianggap anomali adalah menjauhnya kubu islamis dari Anies sejak menjadi capres Nasdem yang nasionalis. Novel Bamukmin yang dianggap sebagai ikon utama arus politik identitas agama secara terbuka menolak Anies sebagai capres. Sikap ini bisa dijadikan bahan konfirmasi oleh Nasdem bahwa Anies bukanlah figur intoleran.
Terlepas dari pilihan politik kita masing-masing, pentas politik nasional tak pernah sepi dari kejiutan. Ternyata pppularitas personal tanpa partai bisa mengalahkan figur politik yang ditopang oleh mesin politik yang sangat kuat.
Kejutan yang mengindikasikan dinamika mestinya menyadarkan kita untuk tidak lagi menganggap pilihan politik masing-masing sebagai harga mati meniru suporter fanatik klub bola. Santai azza!