Antara Ahmad(iyah) dan Muhammad(iyah)
Muhammad, Ahmad dan Mahmud adalah nama-nama Nabi Termulia putra Abdullah. Tapi yang membedakan nama mulia itu dengan nama-nama organisasi dan sekte adalah iyyah pada ekornya.
Dalam gramatika Arab, kata iyyah disebut dengan ya’ nisbah, yaitu tanda yang menunjukkan arti relasi. Kata benda baku, seperti Muhammad, bisa menjadi “yang bersifat Muhammad” atau “bernisbah pada Muhammad” atau “lke-Muhammad-an” bila diberi ya’ nisbah. belakangan dalam komunikasi Arab modern, yah (ya’ nibah dengan ta’ diujungnya) diartikan sama dengan ism atau isme.
Penisbatan pada nama seseorang yang terkenal, apalagi sangat mulia, memang sesuatu yang wajar bahkan terpuji. “Muhammadiyah” di Indonesia tidak didirikan sebagai sebuah aliran, namun organisasi sosial keagamaan. Jadi, menjadi anggota organisasi ini tidak terikat pada teologi atau mazhab tertentu. Kata “Muhammad” yang digunakan oleh organisasi ini demi meniru Muhammad SAW, bukan mengekalkan pendirinya, yaitu KH Ahmad Dahlan. Andaikan untuk tujuan itu, mestinya Muhammadiyah diberi nama Ahamdiyah.
Sementara sekte Ahmadiyah mengunakan Ahamd tidak untuk mengagungkan nama samawi Nabi termulia itu, tapi demi mengangungkan pendirinya Mirza Gholam Ahmad.
Sekte ini, jika benar mengakui adanya Nabi (dalam pengertian teologisnya) setelah Muhammad SAW, maka ia memang layak diperlakukan sebagai sebuah agama baru. Tapi, jika hanya menggunakan nama nabi dalam pengertian etimologisnya (bukan teologis), yang berarti ‘pewarta’, maka ia layak diperlakukan sebagai salah satu mazhab teologi sebagaimana lainnya.
Baik dianggap sebagai agama baru (bila benar-benar menafikan Muhammad SAW sebagai Nabi pamungkas), maupun sebagai mazhab baru (hanya meyakini Mirza Gholam Ahmad sebagai pembawa berita dari al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad), para penganutnya tidak kehilangan haknya sebagai manusia dan warga negara.