Skip to main content

Belakangan ini berita seputar habib gondrong makin deras dan ulahnya selalu bertengger di headline seluruh situs berita dan menguasai peringkat atas trending topic bahkan masuk di wikipedia bersama tokoh-tokoh besar di Indonesia. Ia mungkin sekarang mengungguli ketenaran habib yang dibelanya itu.

Video-video ceramahnya yang hampir semuanya berisikan teriak seruannya dan sahutan massa mengundang banyak penonton dan disebar dengan caption dukungan oleh yang menyukainya dan dibincangkan dengan caption kecaman oleh yang menentangnya.

Kontroversi di era sosmed selalu berhasil membelah opini publik menjadi dua antara kubu pro dan kubu kontra. Karena memajang gelar habib, dia pun punya pemuja yang memandangnya suci atau punya hak istimewa di atas standar norma umum karena status habib yang disandangnya juga punya pembenci, termasuk segelintir orang yang tak hanya membencinya namun mengenalisasi kebencian rasial atas siapapun yang seetnis dengan habib urakan ini.

Sekeluarnya dari penjara, entah karena ingin mendulang keuntungan pribadi atau karena konsekuensi dari pandangan keagamaan yang irrasional dan cara kasar mengekspresikannya, dia di atas mimbar ceramah memberikan komentar tajam dan kasar atas pernyataan salah satu petinggi keamanan negara. Beberapa hari lalu dia ditetapkan sebagai tersangka kasus penyebaran kebohongan.

Ternyata ditetapkannya habib gondrong ini bukan akhir dari gonjang ganjing. Situasi makin kacau atau memang sengaja dikacaukan (entah bertujuan mengurangi pengaruh politik kelompok relijius intoleran dan menguatkan nasionalisme atau justru sebaliknya memperkuat politik identitas dengan menciptakan figur-figur yang identitas Islam, yaitu Arab atau habib), ketika orang keturunan Arab membuat cuitan bodoh yang secara vulgar membuat suasana panas akibat polarisasi pemujaan dan penentangan mendidih.

Parahnya lagi karena tak bedakan keturunan Alawi dan keturunan Arab, dan karena jadi pengintai isu seputar habib, pedagang herbal yang wahabi pun “dilantik jadi habib” dan membikin konten video dengan narasi yang menggoreng isu habib sebagai kontra bangsa.

Mungkin karena kesal melihat ulah habib pembuat onar juga kecewa terhadap sikap pasif organisasi tersebut, muncul seorang alawi (habib kribo) berinsiatif mengambil sikap. Melalui channel youtube dia secara intensif mengecam dan membantah pernyataan habib gondrong yang dianggapnya ngawur demi mengisyaratkan keragaman komunitas alawi alias habib. Namun itu tidak cukup efektif mengklarifikasi kepada kalangan non habib dan melakukan edukasi ke kalangan habib sendiri. Kadang reaksi kontra Habib Kribo dianggap kontraproduktif dan terkesan ekstrem karena diksi-diksinya yang kasar. Prinsip dialektika berlaku.

Situasi bisa makin panas dan mengarah kepada konflik diametrikal bila tidak segera diantisipasi dengan klarifikasi massif dan sistemik. Habib gondrong dielukan oleh yang sepemikiran dengannya. Habib kribo pun dianggap sebagai habib sejati oleh yang menentang habib gondrong.

Situasi ini tentu tidaklah baik bagi komunitas alawi juga keturunan Arab secara umum dan bangsa dalam skala yang lebih besar.

Adakah wadah formal yang mesti menegur setiap habib yang melakukan tindakan negatif demi meredakan ketegangan dan mengambil posisi mediator? Sebenarnya “habib” bukanlah profesi seperti dokter dan pengacara sehingga terasosiasikan dalam satu himpunan resmi, namun hanya atribut.

Pada dasarnya menjadi habib tak memerlukan registrasi dan pencatatan kartu membership dan proses administrasi lainnya. Karenanya, habib tidak bisa diperlakukan sebagai profesi dan setiap penyandangnya sebagai anggota korp yang terikat oleh sebuah organisasi yang mengikat dengan aturan atau kode etik tertentu. Dahulu habib hanya sebutan bagi beberapa alawi yang dikenal ahli ibadah, saleh dan mubalig. Sebutan alawi secara genealogi lebih tepat ketimbang habib.

Memang ada organisasi yang mencantumkan nama alawi. Namun, sayangnya organisasi itu menurut sebagian alawi, terkesan pasif. Tentu organisasi itu punya alasan di balik sikap pilihannya. Orang yang bukan pengurus dan habib tak merasa terwakili tak patut mencampurinya.

Karenanya, agar tak terjepit antara dua kutub ekstrem, kultus dan diskriminasi dan agar menjadi pribumi secara aktual, dan agar tidak identik dengan dua tipe ekstrem habib gondrong dan habib kribo, komunitas alawi (habib) perlu menambah akselerasi dalam beradaptasi dengan meneguhkan jatidiri keindonesiaan tanpa melupakan akar kesejarahan dan nilai leluhurnya serta keunikannya, dengan meredefinisi alawi dalam konteks bangsa dan negara sebagai salah satu elemen penting dalam mozaik indah bernama bangsa Indonesia.

“Kalau jadi Hindu jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini,” (Bung Karno dikutip Megawati Soekarno Putri).

Keturunan Arab bukan orang Arab dan bukan orang Yaman, namun salah satu dari sekian banyak suku di Indonesia. Ia berdiri sejajar dengan setiap warga dari suku Jawa, Batak, Melayu dan lainnya dalam satu identitas bersama, yaitu bangsa Indonesia. Orang-orang keturunan Arab (alawi dan yamani) harus sadar itu. Warga dari suku-suku lainnya juga perlu menyadari itu.