Skip to main content

Andai para konten kreator spesialis anti baalawi itu sejak semula hanya menarasikan kritik terhadap beberapa individu baalawi yang secara nyata mengkapitalisasi gelar habibitas dan mengekslploitasi nasab dengan mengklaim diri sebagai Ahlulbait demi mendulang keuntungan finansial tanpa menyertakan narasi pembatalan nasab Baalawi dengan klaim ceroboh “penelitian ilmiah” dan tanpa menyebarkan ujaran kebencian rasisme, mungkin bisa dimaklumi bahkan didukung.

Wajar bila sebagian orang yang berakal sehat, apapun asal usul kita mempertanyakan pernyataan negatif segelintir orang yang rajin memajang gelar habib tentang peringatan Asyura dan tragedi pembantaian Sayyidina Hiusain, yang menjadi pangkal nasab mereka dan “kecipratan” berkah kemuliaan cucu langsung Nabi teragung itu.

Sayangnya, para penyebar narasi pembatalan nasab Baalawi itu juga mengklaim diri sebagai dzurriyah Nabi dari jalur sana dan sini. Perilaku ini justru mengindikasikan bahwa mereka juga ingin melanjutkan modus eksploitasi nasab. Itu artinya, kritik terhadap perilaku negatif beberapa oknum “habib” tidak lahir dari niat baik menyadarkan umat tentang supremasi ketakwaan dan menghapus doktrin irrasiomal stratifikasi lainnya.

Memvonis satu komunitas alawiyin tanpa pilah dan pilih sebagai penjual agama dan pelaku kapitalisasi nasab, bahkan menganggap mereka sebagai dzurriyah palsu adalah perbuatan keji. Tapi mencemooh peringatan tragedi pembantaian Al-Husain pasti lebih keji.

Vonis total atas satu komunitas etnik di manapun dan kapanpun takkan pernah logis dan etis. Ini adalah aksioma maha valid yang takkan ditolak oleh orang waras, apapun agama, mazhab dan rasnya.