Skip to main content

“HARUS” ANTARA RETORIKA DAN FAKTA

By March 30, 2017No Comments

“HARUS” ANTARA RETORIKA DAN FAKTA

“Masyarakat harus sejahtera”. “Setiap warga harus memiliki rumah.”
Kalimat senada diatas selalu menggembirakan. Tapi jangan lupa! “Harus” tak melulu bermakna perintah, dan karenanya tidak ada yang diperintahkan dan tak ada yang merasa perlu melaksanakan. Bahkan, sering kali “harus” digunakan untuk sesuatu yang tak nyata, bahkan tak bermakna juga ambigu.
Mari kita bahas “harus” secara telaten. Dalam sistem komunikasi terdapat banyak kata yang bila ditulis diberi tanda seru pada akhirnya. Salah satunya adalah kata “harus”. Kata ini bertaburan dalam pernyataan etika, agama, hukum dan yang paling sering dalam politik, terutama dalam kampanye. Baca juga: ANTARA “AH” DAN “OK”
“Harus” bersumber dari banyak alasan dan mengandung beragam konsekuensi, antara lain:

  1. Keharusan imperatif. Contohnya adalah instruksi pimpinan: Semua pegawai harus mengajukan permohonan cuti secara tertulis kepada kepala kantor.
  2. Keharusan konsensual. Contohnya adalah pernyayataan salah satu pihak dalam sebuah perhimpunan: kita harus mengadakan pertemuan minimal sekali dalam sebulan!
  3. Keharusan sugestif. Contohnya adalah pernyataan : Para pakar menegaskan keharusan mengambil kredit bank guna mengatasi dan mengurangi inflasi.
  4. Keharusan ajakan. Contohnya adalah oponi umum : Seharusnya para para wakil rakyat memperjuangkan hak rakyat.
  5. Keharusan utopis. Contohnya adalah pernyataan yang tidak berbasis data rasional dan fakta empiris. Contohnya : Setiap orang beragama harus jujur. Setiap warga harus memiliki rumah.

Dengan memerhatikan proposisi-proposisi di atas, ketika kita mengatakan, “A itu harus,” maka proposisi ini memiliki sejumlah arti dan pengerian yang berbeda.
Kadang, maknanya adalah bahwa terdapat perintah yang dikeluarkan terkait pelaksanaan ‘A’. Keharusan ini disebut dengan imperatif (dasturi). Maksud keharusan imperatif adalah bahwa ia berasal dari perintah seseorang. Baca juga: NIKMATI PENDAPATMU SOAL AHOK
Keharusan ini menjadi rasional berkat perintah seseorang yang kompeten dan berbekal dara. Bila kita mengabaikannya, keharusan ini bersifat utopis dan bunga retorika semata.
Dengan kata lain, “harus” bisa diucapkan siapa saja, tapi yang membedakan “harus utopis” dan “harus realistis” adalah fakta. Baca juga: ANIES BASWEDAN ANTARA EUFORIA DAN HISTERIA
Masalahnya, dalam kecamuk yang tak jernih, opini yang diarahkan oleh pihak yang dominan terlanjur menjadi mindset, apalagi digoreng dengan sentimen keyakinan dan ras, selalu mengalahkan kekuatan epistema dan mengalihkan publik dari realitas apa adanya.
Biasanya, yang tidak disuka adalah orang yang menyampaikan apa yang bisa diwujudkan. Biasanya, yang disuka adalah orang yang menyampaikan apa yang seharusnya diwujudkan.
Kebanyakan orang lebih memilih ” yang harus dilakukan” karena idealitasnya yang imajinal ketimbang “yang bisa dilakukan” karena realitasnya yang determinan.
Alhir kata: Kamu tak harus setuju dengan tulisan ini. Tapi untuk tidak harus menyetujui tulisan ini, kamu harus membacanya dulu.