Skip to main content

Masyarakat yang sedang bingung karena himpitan ekonomi dan persoalanan sosial yang mendambakan jalan pintas solusi, sangat mudah menganggap seseorang sebagai wali, punya keramat, kasyf dan sebagainya hanya karena terpengaruh berita santer, kisah yang bersumber dari mimpi yang disampaikan dalam ceramah atau pernah ditebak tanpa menyalakan tombol logika sebagai filter.

Wali

frasa ‘wali’ juga kerap menjadi objek deviasi sistematis melalui pelonggaran batasan makna dan perluasan cakupan makna sebagai bagian dari agenda delegitimasi, desakralisasi dan pengalihan umat dari makna sejati dan primernya dan pengaburan fungsinya.

Kata wali yang banyak disebut dalam Al-Qur’an termasuk dalam surah Al-Maidah ayat 51, adalah kata wali (tanpa alif) yaitu “وليّ ” yang bentuk jamaknya adalah awliya (اولياء) yang bisa bermakna kekasih, pengayom/pelindung, pengurus atau pemimpin dan sama sekali tidak bermakna penguasa. Sedangkan waliyy yang bermakna “pemimpin” disebutkan dalam Al-Qur’an pada Surah Al-Maidah ayat 55 mengunci makna kepemimpinan untuk tiga pihak.

Sebenarnya, kata wali adalah predikat eksklusif Nabi SAW dan beberapa manusia pilihan yang suci. Predikat wali secara metafor bisa disandangkan pada selain mereka, yaitu sedikit orang yang pengetahuan rasional dan mistikalnya serasi dengan perilaku sehingga melampaui rata-rata orang baik. Para wali pastilah lebih pandai dan lebih baik dari kebanyakan orang baik pada umumnya, bukan malah di bawah standar orang normal.

Frasa kudus ini laris manis karena dijual murah bahkan dibagikan percuma. Hasilnya, banyak orang dianggap wali sebagai hanya karena berperilaku di luar norma umum yang berlaku di tengah masyarakat. Banyak pula orang yang cerdas membaca pasar menobatkan diri sebagai wali dan menjadikannya sebagai modal bisnis agama dengan tujuan pembodohan, penipuan dan penjarahan halus bahkan pelecehan seksual.

Dalam masyarakat awam sebagian orang dianggap mempunyai kemampuan mengetahui sesuatu di balik materi bukan karena banyak ibadah tapi karena dapat karunia sebagai pengganti kekurangan tertentu. Padahal mungkin lebih tepat disebut indigo yang punya indra keenam ketimbang wali.

Wali pada makna primernya adalah pemipin dan pemilik wewenang yang merupakan hak eksklusif, Nabi dan para manusia suci setelahnya. Makna sekundernya adalah kekasih.

Kasyf

Ketika orang yang arif melakukan sayr dan suluk, cahaya ilahi bersinar di dalam hatinya dan kekuatan persepsinya, dan pintu pengamatan dan ilham dibuka untuknya, sehingga dia mencapai tingkat pengetahuan yang lebih tinggi.

Penyingkapan tersebut menyertai pengembara sepanjang gerakan perilakunya, dan bervariasi sesuai dengan kedekatan dan jaraknya dari tujuan, dan sesuai dengan kesiapan spiritualnya.

Al-Qaysari berbicara tentang arti membuka jilbab dalam komentarnya pada Fushush Al-Hikam mengatakan: “Ketahuilah kasyf dalam bahasa adalah menyingkap tirai. Secara teknis, menyingkap apa yang ada di balik tabir fakta spiritual gaib dan metafisik.”

Banyak masyarakat awam yang menjadi korban penipuan orang-orang yang mengaku bisa mendatangkan mukjizat, karamah, memberikan solusi cepat, atau mampu memperagakan sesuatu yang luar biasa dengan mengusung jargon mistisisme, taswauf, tarikat, hikmah dan sebagainya mulai dari penggandaan uang, penggalian harta karun ratusan tahun silam sampai penyembuhan secara ngawur penyakit akut yang kadang berakibat fatal. Makin aneh dan irasional prilaku dan ucapan seseorang, maka makin besar peluangnya untuk dianggap ‘orang pinter’ yang akan menjadi konsultan spiritual terkenal dan kaya. Tidak sedikit pejabat yang ingin naik pangkat atau mencalonkan diri dalam pilkada dan pemilu yang rela disirami oleh ‘orang pinter’ (sebutan diplomatis : dukun) dengan ‘cairan-cairan suci’ dan mengkomat-kamitkan mantra-mantra tertentu.

Ironisnya, selalu saja ada yang termakan oleh jargon yang medikotomikan hakikat (mistisime) dan syariat, dengan dalih bahwa orang yang telah mencapai hakikat tidak perlu terikat dengan syariat. Inilah gerbang demoralisasi atas nama agama dan spiritualisme. Padahal tasawuf hakiki dan ‘irfan sejati tidak akan pernah menyimpang dari jalan para nabi, wali dan ajaran-ajaran agama samawi. Karenanya, ajaran agama-agama Tuhan, sejarah kehidupan para nabi dan wali haruslah menjadi parameter dan alat ukur bagi ungkapan dan prilaku siapapun yang mengaku atau dianggap sebagai arif dan sufi.

Untuk mencapai sebuah pengalaman ruhani, tidak diperlukan membership dalam sebuah perusahaan-perusahaan yang menyediakan jasa reparasi jiwa dengan ragam nama yang menterang. Ada tiga media yang disebut kaum arif untuk membenarkan penyaksian-penyaksian spiritual dan bisa membedakan antara ilham-ilham yang datang dari Tuhan dengan bisikan-bisikan syaitaniah. Tiga media tersebut adalah akal, al-Qur’an dan sunnah.

Bila sebuah peristiwa kasyf (ketersingkapan) dikukuhkan oleh tiga media diatas, maka itulah kasyf dan penyaksian yang benar dan bersumber dari Yang Benar. Bila tidak, maka ia hanyalah rekayasa atau peristiwa supranatural yang tidak bersumber dari Yang Benar.

Semua penyaksian yang bertentangan dengan hukum akal atau hukum syariat pastilah batil. Allah mempringatkan kita, “Orang-orang yang paling rugi perbuatannya… adalah orang-orang yang berprilaku sesat, namun menduga telah melakukan perbuatan yang baik” (QS al-Kahf).