Skip to main content

Sudah beredar banyak pernyataan tentang relasi esensial NU dengan Syiah. Yang paling terkenal adalah “NU itu Syiah minus Imamah” atau “Syiah itu NU plus Imamah”.

Ini mencerminkan sikap toleran Gus Dur dan sejumlah tokoh ormas Islam terbesar ini meski fakta mutakhir di lapangan terutama di Jawa Timur tidak merefleksikan sikap itu. Secara umum, hubungan kultural NU dengan komunitas Syiah cukup erat.

Bagaimana dengan sikap Muhammadiyah? Banyak yang menganggap sikap ormas Islam terbesar kedua ini terhadap Syiah lebih konservatif karena mengaitkannya dengan paham wahabi.

Tapi mungkin tak banyak yang memperhatikan, Syiah terdistribusi ke dalam NU dan Muhammadiyah. Karena NU dan Muhammadiyah secara de facto merepresentasi mazhab Sunni, dan karena mungkin lebih dari setengah ajaran Syiah sama persis dengan ajaran Sunni, maka dapat dikatakan bahwa komunitas Syiah di Indonesia secara keagamaan dan sosial berada di dalam dua kelompok besar itu. Itulah sebabnya, tak mengherankan bila yang teriak lantang menentang pengkafiran Syiah adalah para tokoh ulama dan intelektual dari keduanya.

Terlepas dari relasi irisan antara Syiah dengan dua model sunni ini, Muhammadiyah punya sejarah kelahiran di Indonesia yang agak mirip dengan situasi aktual Syiah saat ini.

Dulu, selama beberapa dekade sejak pendiriannya, stigma sesat dan cap menyimpang, kerap dilekatkan pada para anggota dan simpatisannya bahkan yang mencoba bersikap toleran terhadapnya, terutama di masyarakat pedesaan yang cenderung fanatik dalam segala hal, termasuk ormas dan figur.

Selama beberapa tahun para perintis dan para kader perdana Muhammadiyah bersabar tidak terpancing untuk meladeni provokasi dan penyesatan dan ujaran kebencian yang disebarkan oleh oknum-oknum intoleran demi menghindari konflik horisontal yang dapat melemahkan eksistensi umat Muslim, namun justru melakukan konsolidasi dan memperkuat eksistensinya melalui optimalisasi kiprah dan kontribusi sosial, terutama dalam pelayanan kesehatan dan pendidikan.

Melalui peran nyata dalam dua sektor penting yang saat itu relatif kosong, Muhammadiyah dalam waktu yang tidak terlalu panjang, dinantikan. Bersamaan dengan itu, secara bertahap stigma sesat dan persekusi pun lenyap. Organisasi yang didirikan oleh Sang Pencerah, KH Ahmad Dahlan ini diterima secara keagamaan sebagai mitra ormas NU dalam masyarakat Muslim di Tanah Air dan diterima secara sosial sebagai elemen penting bangsa.

Kini organisasi yang didirikan sebagai respon atas semangat pembaharuan Afghani dan Abduh ini memantapkan diri sebagai lembaga yang kuat secara struktural. Ia telah memiliki 13.693 pimpinan ranting, 4.850 pimpinan cabang, dan 461 pimpinan daerah. Dalam struktur tersebut ada organisasi otonom (Ortom), belum lagi ada Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang tersebar di berbagai daerah hingga pelosok.

Dalam kiprah pengembangan SDM dan pendidikan, ia telah menyumbangkan kepada negeri ini 3334 SD, SMP, SMA dan SMK juga 162 Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (PTMA) berupa 60 universitas, 82 sekolah tinggi, 6 akademi, 9 institut, dan 5 politeknik yang tersebar di seluruh propinsi Indonesia.

Dalam kiprah pelayanan kesehatan, Muhammadiyah punya banyak rumah sakit. Dalam masa pandemi ia telah menjadikan sebanyak 118 rumah sakit di bawahnya sebagai bagian dari program penanggulangan covid 19.

Sebagaimana organisasi pada umumnya, ia tak bebas dari pelbagai problema internal, terutama dari anasir intoleran dan para oportunis. Namun berkat kearifan para tokoh dan kader-kader unggulan yang terus diproduksi, organisasi ini berhasil melewati dengan baik ragam dinamika sosial dan politik sejak Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi melalui konsolidasi dan distribusi peran serta pengelolaan secara profesional dan tulus.

Ia kini di puncak kematangan dan kemandiriannya. Di bawah kepemimpinan Prof. Haedar Nasir bersama Prof. Syafiq Mughni dan Prof. Adul Mu’thi dan pimpinan di pusat juga di daerah, Muhammadiyah mempersembahkan fakta keteladanan, ketangguhan, toleransi dan kerendahan hati ketika menerima kunjungan pengurus ABI, sebuah ormas yang menanungi komunitas Muslim Syiah yang selalu dijadikan objek penyesatan, pengkafiran, fitnah, diskriminasi, persekusi, pengabaian dan kecurigaan serta vonis in absentia tanpa hak jawab.

Ia tak hanya menerima secara formal namun membuktikan keterbukaannya secara serius menanggung segala risiko penghujatan dari sebagian pihak yang terpapar intoleransi dengan mempublikasikan kunjungan rombongan DPP ABI yang dipimpin oleh Ketua Umumnya, Habib Zahir Yahya pada situs resminya. Ini adalah peristiwa monumental yang menjadi prasasti abadi dalam sejarah toleransi di Indonesia.