Berita heboh tentang rencana agawan Kristen Terry Jones dan pendukungnya di Amerika untuk melakukan aksi pembakaran al-Qur’an menghentak kita semua. Menghentak kita karena selama ini Barat melalui media yang digadaya telah berusaha menjejali pikiran kita dan bahkan merasuki alam bawah-sadar kita, terutama di belahan duni Timur, bahwa radikalisme dan fundamentalis serta terorisme adalah bagian dari dunia Islam, bahwa pluralisme dan demokrasi serta HAM adalah simbol dari perabadan Barat dengan AS sebagai ikonnya.
Berita itu membuat kita berpikir kembali dan meninjau ulang sumber radikalisme dan menelusuri rangkaian kausal terorisme serta segala fenomena kekerasan baik berupa aksi pengemboman ala al-Qaeda maupun perlawanan legal terhadap zionis Israel oleh Hamas dan Hezbollah.
Fundamentalisme, sebagaimana dikatakan Karen Armstrong, merupakan salah satu fenomena paling mengejutkan di akhir abad 20. Ekspresi fundamentalisme ini terkadang cukup mengerikan. Para fundamentalis menembaki jamaah yang sedang salat di masjid, membunuh dokter dan perawat dalam klinik aborsi, membunuh presiden, dan bahkan mampu menggulingkan pemerintahan yang kuat. Fundamentalisme dan kekerasan agama merupakan isu paling hangat belakangan ini dalam wacana percaturan global yang mendorong kita untuk melakukan kajian terhadap dua persoalan ini.
Boleh jadi, pembakaran al-Qur’an didasarkan pada pendapat J.J. Tamayo-Acosta yang menganggap Kitab Suci sebagai motor penggerak radikalisme, karena, menurutnya, telah ditafsir (atau lebih tepat diterapkan) secara hurufiah, tanpa mempertimbangkan arti hermeneutisnya berupa aktualisasi pesan untuk situasi kini . Tapi, fenomena skripturalisme tidak ada dalam dunia Islam. Bahkan skripturalisme Islam hanya diwakili oleh wahabisme, yang notabene made in Britain.
Sebenarnya, Fundemantalisme dan radikalisme adalah produk made in America. Kata ini diduga pertama kali digunakan di AS pada 1920-an, menyusul terbitnya rangkaian dua belas jilid buku The Fundamentals dari tahun 1910 ke atas. Buku ini memuat sembilan puluh artikel yang ditulis oleh berbagai teolog Protestan yang menetang kompromi apapun dengan modernisme di sekitarnya. The Fundamentals dibiayai oleh dua pengusaha bersaudara. Lebih dari tiga juta eksemplar buku itu dibagikan secara grartis. Tetapi istilah “fundamentalisme” dimunculkan dalam kosa kata Amerika terutama oleh “kasus Scopes”. Kasus inilah yang sejak awal menobatkan konotasi kontroversial bagi kata itu. John T. Scopes adalah guru biologi muda di sebuah sekolah di Tennessee. Di kelas dia mempergunakan buku teks yang berisi referensi evolusi spesies. Hal itu merupakan pelanggaran hukum negara yang melarang menga
jarkan “teori apapun yang menolak kisah penciptaan manusia”.
Fundamentalisme—yang sering dianggap sebagai sumber kekerasan politik atas nama agama—dipahami sebagai bentuk pemikiran sempit (narrow-minded), bersemangat secara berlebihan (ultra-zealous) atau cenderung ingin mencapai tujuan dengan menggunakan cara-cara kekerasan-memang bukan pilihan menjanjikan, karena ia tidak menyisakan ruang lapang bagi orang lain untuk melihat dan belajar dari dan terhadap yang dipandang berbeda keyakinan, agama dan mazhab atau sekte.
Rencana pendeta Terry Jones untuk memimpin upacara pembakaran kitab suci umat Islam, al-Quran, menjadi bukti terbaru bahwa radikalisme dan irasionalisme tidak hanya ada dalam masyarakat Islam, bahkan ia adalah bayi yang lahir dari perut dunia yang mengaku sebagai induk dari peradaban yang maju, yaitu Amerika Serikat.
Dari perspektif apapun, aksi pembakaran sebuah kitab suci adalah perbuatan anti-pluralisme yang hanya bisa ditafsirkan sebagai kekerasan teologis dan psikologis. Bila rencana dan aksi ini tidak segera dihentikan dan dianggap sebagai tindakan teror, maka mungkin lama kelamaan, umat Islam yang menjunjung tinggi pluralisme dan toleransi antar umat beragama, mulai kehilangan kesabaran dan berbalik memaklumi radikalisme dan fundamentalisme dalam tubuh masyarakat Islam.
Bila mau lebih kritis, kita bisa mencurigai adanya relasi konspiratif antara Barat –yang direpresentasi oleh sentra hegemoni imperialistik AS dengan NATO dan G-10-nya melalui rekayasa aksi-aksi anti Islam dengan makin kuatnya kelompok-kelompok radikal Islam yang diwakili oleh teologi talibanisme dan al-Qaeda -dengan semua varian dan nama-nama yang berbeda-, yang merambat ke hampie seluruh penjuru dunia Islam. Dengan kata lain, Aksi-aksi penodaan Islam mulai dari loma karikatur sinis Nabi Muhammad, pembuatan film Fitna dan rencana pembakaran al-Qur’an telah merupakan bagian dari grand design untuk menjustifikasi pengetatan terhadap gerak umat Islam dan pengikisan komitmen relijius alias kesalehan dalam tubuh masyarakat Muslim karena dianggap sebagai bagian dari gejala radikalisme. Munculnya dan makin beraninya kelompok yang mengatasnamakan Islam Liberal di Indonesia dan sejumlah negara Islam mungkin dapat dianalisis dengan perspektif ini.
Hipotesa ini bukanlah sekadar halusinasi atau wishful thinking atau pertanda pranaoid atau sinisme. Karena itu, umat Islam, terutama yang memiliki wawasan global, selain mesti membekali diri dengan pemahaman tentang kawan dengan menjunjung tinggi persatuan, juga mesti melengkapi diri dengan pemahaman tentang lawan agar tidak masuk dalam perangkap skenario para musuh yang anti-pluralisme dalam intern maupun ekstern. Wallahu a’lam. (Makalah ini ditulis dengan terburu-buru. Mohon maaf bila banyak salah ketik. Minal aidin wal faizin ).