Skip to main content

ANTIKLIMAKS EUFORIA

By January 20, 2017No Comments

Meski aksi fenomenal 212 terus dihangatkan dan digenjot secara intensif melalui pelbagai cara, adrenaline dan semangat primordial massa tidak bisa menanjak terus, karena persoalan asap dapur setiap individu tetap yang terpenting.
Para penggerak yang tidak punya masalah dengan persoalan “isi dompet” mungkin terlalu “pede” dan “ginjong” melihat antusiasme massa yang membanjiri Thamrin dalam aksi damai shalat Jumat beberapa waktu lalu. Karena itu, mereka tidak memperhitungkan fluktuasi situasi dan konstletasi politik serta jurus2 stragis pihak-pihak yang menentang.
Usai Aksi Shalat Dhuha, dari minimnya jamaah peserta, terbukti jelas bahwa para dedengkot ekstremisme dan penganjur intoleransi (takfirisme) meninggalkan salah satu elemen utama massa penuntut hukuman atas Ahok dalam kasus “penodaan agama” dan menjebaknya dalam konflik-konflik.
Yang pasti menjadi hasilnya adalah bibit konflik horisontal bernuansa SARA juga menyebarnya stigma negatif “habib”. Terlepas dari sikap politik atau orientasi keberagamaan atau pro dan kontra, ketegangan ini adalah fakta buruk.
Menurunnya jumlah massa yang merespon ajakan aksi shalat dhuha memberikan gambaran baru tentang banyaknya kepentingan para inisiator dam menguak ketidaksolidan para penentang Ahok.
Belajar dari ini semua, kita berharap semoga semua pihak, pendukung atau penentang, berpikir logis dan mengedepankan kepentingan umat dan bangsa diatas kepentingan kelompok, partai dan organisasi.
Euforia panggung bisa berbalik menjadi blunder. Yang gagah di panggung kemarin sore bisa menjadi orang yang memelas besok. Itulah antiklimaks euforia.