APA DI BALIK "APA" ; TUHAN ITU APA?
Entah berapa kali dalam sehari kita menyebut kata apa dan derivatnya, kenapa, berapa, siapa dan sebagainya. Tapi boleh jadi banyak orang tak memahami apa di balik "apa".
Saat mendengar sebuah kata yang belum diketahu, ponsel, misalnya, kita bertanya "apa(kah) itu?" atau "ponsel itu apa?" Jawabannya, handphone, misalnya.
Setelah dijawab, misalnya, "handphone", mungkin penanya ingin memastikan ia adalah fakta, bukan hoax atau fiksi, maka ia melontarkan pertanyaan "apakah handphone itu ada dan nyata?"
Namun pertanyaan tahap dua ini biasanya tidak dilontarkan, karena umumnya keberadaan sesuatu yang diwakili oleh kata tertentu yang ditetapkan sebagai nama tertentu itu sudah disepakati. Artinya, pertanyaan ini jarang dilontarkan karena adanya nama dianggap sebagai pertanda adanya yang ternamakan, meski tak mesti.
Setelah dijawab "nyata" atau "ada", misalnya, dan teryakinkan bahwa handphone adalah sesuatu yang nyata ada, penanya biasanya ingin mengetahui fakta realitasnya lalu melontarkan pertanyaan ketiga "apa itu" Dengan kata lain, setelah memastikan adanya handphone sebagai fakta eksistensial, penanya ingin mengetahui fakta esensialnya dengan melontarkan pertanyaan yang memuat kata pula, "apa itu?"
Penanya menggunakan "apa" yang secara spontan karena di alam sadarnya telah mengetahui bahwa "apa" mewakili hakikat dan ciri khas personal sesuatu itu agar terbedakan dari hakikat benda lainnya.
Tahukah anda bahwa "apa ketiga" dalam pertanyaan "apa itu handphone" bersifat universal, tidak personal. Artinya, jawaban atas pertanyaan "apa handphone itu?" adalah definisi tentang handphone secara umum.
Ada tiga tahap makna dan konteks “apa”, yaitu apa tahap satu, apa tahap dua dan apa tahap tiga.
"Apa" Tahap Satu (Keapaan Verbal)
Pertama kali yang patut didahulukan adalah pertanyaan ‘apakah’ tentang penguraian kata (syarhul-ism). Bila kita telah mendengarkan nama atau kata ponsel, misalnya, namun kita tidak tahu itu apa, makanan atau minuman ataukah selain itu, maka yang patut ditanyakan “ponsel itu apa?”
Pertanyaan semacam ini hanya berkaitan dengan makna kata, tidak berkaitan dengan realitas ponsel. Maksud pertanyaan ini adalah "apa arti ponsel".
Pertanyaan demikian bisa dilontarkan kepada siapa saja. Yang menjadi objek pertanyaan dalam pertanyaan prima dan umum ini adalah kata dan yang menjadi jawaban semestinya adalah penguraian artinya.
"Apa" jenis pertama ini disebut dengan ‘ma syarihah’ (ke-apakah-an deskriptif) atau yang lazim disebut as-su’al al-mahawi al-badwi, semantic whatness.
"Apa" Tahap Dua (Keapaan Eksistensial)
Dalam bahasa Indonesia "apa" tahap kedua ini ditambahkan "kah" pada bagian belakang kata apa, "apakah" agar terbedakan dari apa tahap satu.
Setelah mendapatkan jawaban atas pertanyaan "apa tahap satu", maka pertanyaan kedua yang akan dilontarkan bukanlah "apa itu" (ma huwa), namun ‘apakah (ponsel) itu ada? Dalam bahasa Indonesia "apa" pada tahap dua (apakah) kerap juga diungkap dalam "adakah"
Pertanyaan yang diawali dengan "apakah" pada tahap kedua ini disebut ‘al-haliyah al-basitah’, pertanyaan ke-apakah-an yang sederhana (simple whatness) karena yang ditanyakan adalah
Jika pertanyaannya tentang pembuktian adanya sesuatu atau tidak, maka ia disebut "ke-apakah-an sederhana. Disebut sederhana karena yang ditanyakan adalah adanya sesuatu, bukan predikat non eksistensial seperti bagus, mahal dan sebagainya. Jawabannya adalah premis yang predikat ada pada subjek.
"Apa" Tahap Tiga (Keapaan Esensiall)
Bentuk pertanyaan dan kata bantu pertanyaannya sama dengan pertanyaan tahap pertama, yaitu tentang ‘apa itu’ (ma huwa)?. Namun "apa itu" tahap ketiga berbeda dengan "apa itu" tahap pertama karena tujuan di balik dua "apa itu" juga. Apa pada tahap pertama menunjuk kepada arti kata yang telah ditetapkan sebagai nama sebuah benda. Apa pada tahap kedua mengacu kepada enensi sebuah benda yang telah diberi nama khusus.
Tujuan yang hendak ditangkap oleh penanya adalah realitas (hakkat) sesuatu yang diwakili oleh kata tersebut. Hakikat inilah yang menjadi definisinya.
Bila diuraikan, apa pada tahap ketiga yang berarti realitas esensi sesuatu terdiri atas dua bagian, yaitu substansi dan aksiden.
Contoh :
Apa(kah) manusia itu? Sinonim insan. (Kaepaan semantik)
Apa(kah) manusia ada (nyata)? Ada, bukan fiktif. (Keapaan eksistensial).
Apakah manusia itu? Ia adalah spesies hewan yang berakal. (Keapaan esensial).
Pertanyaan penting :
Bolehkah secara rasional Tuhan di-apa-kan atau ditanya dengan apa tahap pertama, kedua dan ketiga? Kalau boleh, apa argumennya? Kalau tak boleh, apa dasar alasannya?