Skip to main content

Realitas ataukah pengetahuan yang lebih mendasar? Pertanyaan ini boleh jadi tidak lazim. Tapi, bagi siapa saja yang menolak berpikir dogmatis, pertanyaan itu justru teramat lumrah, bahkan wajib mengemuka.

Bila pengetahuan yang mendasari realitas, maka itu bermakna, pengetahuan mencipta realitas. Implikasinya, realitas sebagai ciptaan pengetahuan bukanlah realitas itu sendiri.

Di sisi lain, jika pengetahuan itu mendasari realitas, maka pengetahuan tersebut bukanlah realitas itu sendiri. Nah, bila pengetahuan bukanlah realitas itu sendiri, sementara realitas sebagai produk pengetahuan juga (dianggap) bukanlah realitas, maka apa yang disebut “pengetahuan tentang realitas” menjadi nihil, bahkan absurd.

Sebaliknya, bila pengetahuan tidak mendasari realitas alias bukan produk pengetahuan, maka realitas menjadi sesuatu yang diketahui maupun tidak diketahui.

Lebih dari itu, bila pengetahuan tidak mendasari realitas, maka itu artinya realitaslah yang mendasari pengetahuan. Dengan kata lain, pengetahuan niscaya berorientasi pada realitas. Karenanya, realitas adalah lingkup dan batasan pengetahuan itu sendiri. Tanpa realitas, pengetahuan bukanlah pengetahuan per definisi.

Nah, dikarenakan bukan pengetahuan, maka ia pun bukanlah realitas. Tanpa selain realitas, ia juga (sesuai asumsi ini) bukanlah pengetahuan. Dengan kata lain, pengetahuan adalah realitas bila berorientasi dan menjangkau realitas. Jika tidak, maka ia bukan pengetahuan karena bukan suatu realitas.

Implikasinya, jika realitas mendahului pengetahuan, maka realitas tak bergantung pada pengetahuan. Realitas sebagai tak bergantung pada pengetahuan laksana sebatang pohon, di mana pengetahuan merupakan salah satu buahnya.

Kesimpulannya:

  1. Realitas tidak ditentukan oleh pengetahuan.
  2. Pengetahuan tidak berorientasi kepada selain realitas alias pengetahuan hanya dan hanya menjangkau realitas.
  3. Tiadanya realitas tidak ditentukan oleh tidak adanya pengetahuan.
  4. Pengetahuan tentang selain realitas bukanlah pengetahuan.

Bila pengetahuan itu buah realitas, maka realitas mendahului/mendasari pengetahuan. Bila realitas mendahului/mendasari pengetahuan, lantas apa sebenarnya urgensi pengetahuan?

Allamah Thabathabai menegaskan urgensi epistemologi saat membahas induk pengetahuan, yaitu eksistensi. Semua itu diulas saat membuka pembahasan ontologi dan metafisika dengan tema ekstemporalitas konsep eksistensi (bedahah mafhum al-wujud) dalam dua karya utamanya, Bidayah al-Hikmah dan Nihayah al-Hikmah. Terobosan mahaguru itu lalu dieksplorasi secara ekstensif oleh murid jeniusnya, Muhammad Taqi Misbah Yazdi dalam Amuzesy e Falsafeh (Daras Filsafat).

Sayang, banyak kalangan yang lebih sibuk menghimpun keyakinan material berupa ajaran-ajaran. Padahal sebelum itu perlu lebih dulu menuntaskan keyakinan formal seputar esensi keyakinan itu sendiri. Sebab, untuk memahami realitas dan eksistensi, termasuk ketuhanan, agama, termasuk mazhab, perlu dipahami lebih dulu perihal seluk-beluk “mengetahui”. Itulah yang disebut dengan epistemologi.

Tak perlu canggung dan gengsi untuk mengakui pentingnya ngaji epistemologi, sebuah ilmu yang mungkin namanya terdengar “kebarat-baratan”.