Skip to main content

“Arab, Sebuah Klarifikasi” (Dimuat Jawa Pos Hari ini, Selasa 28 Juni) 2011)

By June 28, 201111 Comments

Sekali lagi rasa nasionalisme kita terusik. Sekonyong-konyong kita dihantam oleh berita pemancungan warganegara bernama Ruyati di Arab Saudi atas tuduhan pembunuhan.  Terlepas benar atau tidaknya tuduhan itu, dan bagaimana proses peradilan yang dijalaninya serta alasan-alasan real yang melatarbelakangi tindak pembunuhan itu bila memang terjadi,  berita itu layak mengundang simpati sekaligus kecaman.

Terlepas dari hukum dan sistem peradilan yang dijadikan sebagai justifikasi, mengakhiri hidup seorang manusia melalui pemisahan kepala dan leher (baca: pancung) sendiri bisa dipahami sebagai sebuah fragmen horor. Karena itu, tidaklah salah bila simpati  dalam skala besar pun muncul.

Pada saat yang sama, kecaman juga terbit dari hampir setiap individu. Sebagian besar dialamatkan ke Pemerintah karena dianggap gagal melindungi warganya. Sebagian kecaman juga dialamatkan kepada Pemerintah Arab Saudi. Tidak hanya itu, karena rasa kemanusiaan dan kebangsaan serta faktor-faktor  lainnya, sebagian malah memperluas objek kecaman kepada “Arab”, bahkan tercium aroma penggiringan opini yang berusaha mentautkannya dengan Islam, yang selama ini dipahami sebagai atribut identik Arab Saudi bahkan Arab secara keseluruhan.

Dalam atmosfir histeria yang sangat emosional seperti saat ini, kecaman tidak selalu proporsional, malah cenderung memakan korban yang sama sekali tidak terkait.  Tanda-tanda pembiasan mulai muncul  dan pengalihan subjek persoalan mulai memasuki tahap yang memerlukan klarifikasi.

Namun sungguh tragis dan ironis bila simpati kepada martirdan pahlawan devisa itu, juga dilumuri dengan opini antipati yang salah alamat karena ketidakjelasan istilah dan frase, seperti  Arab Saudi,  Wahabisme, Arab dan Islam. Pemahaman yang minim tentang pola relasi antar  kata tersebut tak ayal akan sangat efektif menimbulkan anarki dalam bentuk pernyataan, sikap dan prilaku. Diperlukan sebuah penjelasan yang objektif, proporsional dan komprehensif tentang hal itu. Bila tidak, maka boleh jadi, logika dan akal sehat akan mengalami cuti panjang, selanjutnya intoleransi  menjadi modus penyikapan terhadap setiap fenomena sosial di tengah kita.

Kasus pemancungan Ruyati yang diklaim sebagai keputusan peradilan Islam memunculkan pertanyaan klasik; apakah Islam identik dengan Arab? Apa pola bentuk relasi antar keduanya?  Bagaimana relasi Arab Saudi sebagai sebuah negara dengan Arab? Untuk bisa memahami persoalan ini secara jernih, diperlukan klarifikasi yang objektif dan proporsional.  Arab dapat dilihat dari tiga aspek; geografi, tribalisme dan linguistik. Analisis demikian juga berlaku bila hendak mendudukkan istilah Yahudi dan lainnya.

Pertama, Arab secara geografi, Arab (baca : Dunia Arab) kini tanah Arab terbentang dari Samudra Atlantik di barat hingga Laut Arab di timur, dan dari Laut Tengah di utara hingga Tanduk Afrika dan Samudra Hindia di tenggara. Dunia Arab terdiri dari 24 negara dan wilayah dengan populasi 325 juta dalam dua benua.

Banyak orang mengira bahwa Arab Saudi identik dan mewakili dengan Arab secara keseluruhan sehingga kadang Arab Saudi disingkat dengan sebutan Arab. Saking meluasnya kesalahkaprahan ini sehingga kadang media massa kadang ikut-ikutan. Kira-kira empat tahun lalu saat penyelanggaraan Final Piala Asia di Senayan sebuah suratkabar menulis di tajuk beritanya, “Timnas Irak Kalahkan Timnas Arab”.

Kedua, Secara linguistik merujuk pada bahasa yang dipakai oleh lebih dari 23 negara yang tergabung dalam Liga Arab.Bahasa ini adalah bahasa resmi dari 25 negara, dan merupakan bahasa peribadatan dalam agama Islam karena merupakan bahasa yang dipakai oleh Al-Qur’an. Berdasarkan penyebaran geografisnya, bahasa Arab percakapan memiliki banyak variasi (dialek), beberapa dialeknya bahkan tidak dapat saling mengerti satu sama lain. Bahasa Arab modern telah diklasifikasikan sebagai satu makrobahasa dengan 27 sub-bahasa dalam ISO 639-3. Bahasa Arab Baku (kadang-kadang disebut Bahasa Arab Sastra) diajarkan secara luas di sekolah dan universitas, serta digunakan di tempat kerja, pemerintahan, dan media massa.

Ketiga, Arab secara kesukuan (tribal), terdiri dari 4 kategori; 1. Baidah (suku yang telah punah) seperti Kaum Aad dan Tsamud,2.  ‘Aribah (asli Arab), berasal dari Himyar dan Qahthan; 3. Musta’ribah (ter-Arabkan), yaitu turunan Nabi Ibrahim dari Ismail yang berhijrah ke tanah Arab dari Mesopotamia. Mereka adalah Bani Hasyim atau Quraisy;  Nabi Muhammad saw adalah keturunan Bani Hasyim yang merupakan marga dalam Quraisy yang berasal dari Ismail yang musta’rib. Itulah ia bisa dianggap Arab sekaligus ajam. Dan karena itu pula, ia bisa diterima oleh semua golongan, baik Arab mau pun non Arab. Dengan universalitas Muhammad, ia digelari Sayyidul Arabi wal ‘Ajami, (Pemimpin bagi Arab dan non Arab). Ini juga  menegaskan bahwa Islam tidak identik dengan Arab. 4. Arab Diaspora, yaitu orang-orang Arab yang bermigrasi keluar dari Dunia Arab, dan kini menetap di Eropa Barat, benua Amerika, Australia dan seluruh penjuru dunia. Diaspora Arab di Indonesia adalah salah satu suku.

Keturunan Arab  di Indonesia umumnya yang berasal dari Hadramaut (Yaman) terdiri 2 kelompok besar yaitu kelompok Alawi, dan kelompok Qabili. Di Indonesia, kadang-kadang ada yang membedakan antara kelompok Alawiyyin yang umumnya pengikut organisasi Jamiat al-Kheir, dengan kelompok Syekh atau Masyaikh yang biasa pula disebut Irsyadi atau pengikut organisasi al-Irsyad.

Arab Saudi dan Wahabisme

Karena Mekah dan Madinah berada dalam kekuasaannya, tidak mengherankan jika banyak orang mengidentikkan Dinasti Saudi dengan Islam dan menganggapnya sebagai representasi dari Islam, bahkan tidak sedikit yang menganggap Islam dan Arab sebagai satu entitas berbeda tampilan. Padahal pandangan demikian jelas salah. Karena itu, saat berita pemancungan Ruyati terdengar, di antara sekian banyak kecaman, ada sebuah kecaman yang dialamatkan kepada Islam dan Arab secara keseluruhan. Yang mungkin perlu diperjelas adalah pola hubungan antara Islam dan Arab dan antara Arab Saudi dan Arab secara keseluruhan.

Untuk memahami dengan jernih Dinasti Saud ini, kita harus memperhatikan ada dua elemen utamanya; yaitu faktor Saud, pendiri Kerajaan Saudi dan Muhammad bin Abdul-Wahab, pendiri teologi Wahabisme.

Hubungan Kerajaaan Saudi dan teologi ortodoks Wahabisme sangat erat, bahkan keduanya bisa dianggap saudara kembar dengan tipologi yang berbeda; yaitu politis dan teologis. Wahabisme (yang biasanya menggunakan nama Salafi) didirikan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb dari keluarga klan Tamîm yang menganut mazhab Hanbali. Ia lahir di desa Huraimilah, Najd, yang kini bagian dari Saudi Arabia, tahun 1111 H [1700 M] Masehi dan meninggal di Dar’iyyah. tahun 1206 H [1792 M.]. Ia sangat terpengaruh oleh tulisan-tulisan seorang ulama besar bermazhab Hanbali bernama Ibnu Taimiyah. Untuk menimba ilmu, ia juga mengembara dan belajar di Makkah, Madinah, Baghdad dan Bashra [Irak], Damaskus {Siria], Iran, termasuk kota Qum, Afghanistan dan India. Di Baghdad ia mengawini seorang wanita kaya. Ia mengajar di Basra selama 4 tahun Tatkala pulang ke kampung halamannya, ia menulis bukunya yang kemudian menjadi rujukan kaum pengikutnya, Kitâbut’Tauhîd . Para pengikutnya menamakan diri kaum Al-Muwahhidûn (para pengesa Tuhan). Ia kemudian pindah ke ‘Uyaynah. Dalam khotbah-khotbah Jumat di ‘Uyaynah, ia terang-terangan mengafirkan semua kaum Muslimin yang dianggapnya melakukan bid’ah [inovasi], dan mengajak kaum Muslimin agar kembali menjalankan agama seperti di zaman Nabi.

Di kota ini ia mulai menggagas dan meletakkan teologi ultra-puritannya. Ia mengutuk berbagai tradisi dan akidah kaum Muslimin, menolak berbagai tafsir Al-Qur’ân yang dianggapnya mengandung bid’ah atau inovasi. Mula-mula ia menyerang mazhab Syiah, lalu kaum sufi, kemudian ia mulai menyerang kaum Sunni.

Tatkala masyarakat mulai merasa seperti duduk di atas bara, ia diusir penguasa [amîr] setempat pada tahun 1774.Ia lalu pindah ke Al-Dar’iyyah, sebuah oase ibu kota keamiran Muhammad bin Sa’ûd, masih di Najd Tahun 1744 Muhammad bin Suud, amir setempat dan Muhammad bin Abdul Wahhab saling membaiat untuk mendirikan negara teokratik dan mazhabnya dinyatakan mazhab resmi Ibnu Suud sebagai amîr dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb jadi qadi. Ibnu Suud mengawini salah seorang putri Muhammad bin Abdul Wahhab.

Penaklukan-penaklukan dilakukan terhadap para kabilah dan kelompok yang menolaknya, termasuk, Makkah dan Madinah. Tak lama setelah itu bentuk pemerintahan berubah dari emirat menjadi kerajaan bernama Al-Mamlakah Al-Arabiyah As-Su’udiyah sejak tahun 1932 hingga  sekarang.

Pola keberagaman yang rigid dan anti penafsiran inilah yang memperngaruhi sistem penerapan hukum di Saudi yang juga mempengaruhi pola keberagamaan sebagian kelompok Muslim di seluruh dunia yang cenderung anti modernitas dan pluralisme.

Uniknya, Kerajaan, yang menjadikan Wahabi sebagai mazhab resmi, kini menjadi salah satu sekutu terdekat Amerika di Timur Tengah. Bukan rahasia lagi bahwa Negara bisa dianggap sebagai pemimpin blok anti perlawanan militer terhadap Israel dengan dukungan mayoritas Liga Arab yang vis a vis dengan blok pro perlawanan yang dipimpin oleh Suriah dengan dukungan Iran.

Wahabisme telah dikembangkan dengan beragam corak dan pola pendekatan. Alqaeda yang didirikan oleh salah satu konglomerat Saudi merupakan manisfstasi paling ekstrem dari teologi Wahabisme yang skriptural dan anti logika. Karena itulah, sebagian kalangan mencurigai trend ekstremitas atas nama agama yang dirintis oleh Osama bin Laden sejak peristiwa WTC dicurigai sebagai bagian dari hasil kerjasama Amerika dan Kerajaan Saudi demi kepentingan hegemoni.

Kesimpulannya, kasus pemancungan Ruyati, kalaupun benar terbukti bersalah, tidak bisa dilepaskan dari pola keberagamaan ala Wahabi yang rigid dan anti logika. Ruyati dan ratusan wanita-wanita Bahrain yang ditembak oleh peluru tentara Saudi adalah korban ortodoksi dan teologi wahabisme.