Jujur saja, arus besar umat terus berlomba meraup pahala kebaikan. Tentu dengan risiko nol atau seminimal mungkin. Maka, buat mereka, ikut dalam kafilah Asyura akan tampak konyol dan cuma cari masalah.
Asyura menegaskan tiga horison perjuangan yang makin asing, bahkan ditertawakan di abad modern.
- Kesyahidan sebagai risiko maksimal kebajikan.
- Keterkucilan sebagai risiko menengahnya.
- Kemiskinan sebagai resiko paling minimal.
Al-Husain kini telah gugur. Yazid juga sudah mati. Itu takdir sejarah. Tapi dialektika nilai masih terus berlangsung. Husainisme sebagai representasi sistem keadilan dan Yazidisme yang mewakili tirani kezaliman tetap ada dan terus bertarung sejak dulu, sekarang, dan mendatang.
Al-Husain menetapkan definisi unik tentang hidup dan mati. Katanya, hidup dalam kehinaan hanyalah mati dan mati dalam kemuliaan adalah hidup.
Sedikitnya jumlah peserta kafilah Karbala merefleksikan fakta historis bahwa kebaikan berisiko bukanlah pilihan utama mayoritas para pengiman.
Di luar kafilah Asyura, umat bertanding sengit di arena ibadah dan perbuatan baik. Mereka begitu kolot, repot, dan ngotot shalat berjamaah hingga berhaji, misalnya meski diintai wabah maut. Sebagian lagi rela melotot semalaman demi ‘jihad nafkah’ keluarga.
Al-Husain sudah menetapkan pilihan. Risiko mahaberat yang niscaya atas pilihannya itu tentu sudah disadari penuh. Tapi Al-Husain tak memaksa khalayak ikut bergabung atau menghindari risiko. Sikap kesatrianya itu mestinya cukup bagi umat untuk sadar bahwa kebajikan menentang kezaliman adalah puncak kemanusiaan. Meski niscaya berisiko berat, bahkan fatal.
Epos Asyura diperingati bukan untuk menyesali risiko yang diburu kafilah syahadah Karbala berupa pengorbanan. Tapi untuk memantapkan hati agar siap menjemput sederet risiko pahit tapi indah: kemiskinan, keterkucilan, keteraniayaan, dan kesyahidan.
Pandemi telah meledakkan petaka kesehatan dan sosial di tengah umat manusia. Tapi bagi para murid madrasah Asyura, hidup sulit akan terasa mudah manakala menghayati megatragedi Al-Husain dan kafilahnya.
Banyak orang merasa menghidupkan Asyura dengan memperingatinya. Padahal Asyura justru menghidupkan orang-orang sehingga bisa ikut memperingatinya.
Memiih hidup dengan kehinaan adalah kematian sejati. Merengkuh kematian dengan cara mulia, itulah kehidupan yang hakiki.
Demikianlah arti hidup dalam kamus Asyura.