ASYURA DAN REVOLUSI ANTI FEODALISME

ASYURA DAN REVOLUSI ANTI FEODALISME
Photo by Unsplash.com

Para tuan tanah, saudagar-saudagar budak, pemimpin-pemimpin klan dan tokoh-tokoh bromocorah Quraisy yang merasa terpaksa menerima kemenangan Islam terutama pasca pembebasan Mekah menyimpan dendam kesumat seraya terus merawat kedengkian karena menganggap Muhammad SAW telah berhasil mengelabui masyarakat dengan ajaran Tauhid dan ajakan meninggalkan animisme demi membangun rezim kekuasaan baru.

Dendam dan dengki ini disemai dan disebarkan dalam bentuk sikap-sikap dan gosip penentangan samar dan sporadis terhadap banyak kebijakan dan perintah-perintah Nabi SAW.

Dendam itu juga dituangkan dalam upaya-upaya intensif untuk menggagalkan rencana-rencana dan proyeksi jangka pendek, menengah dan panjang yang telah beliau canangkan sebagai antisipasi kemungkinan-kemungkinan kooptasi dan pembelokan arah revolusi multidimensi yang telah dicetuskannya.

Allah SWT telah mengkonfirmasi tentang adanya klik dan gerombolan munafik yang rajin melakukan pembusukan dan segala muslihat mendelegitimasi otoritasnya terutama berkaitan dengan isyarat-isyarat suksesi yang kerap dilontarkan Nabi SAW di pelbgai kesempatan dan pertemuan.

“Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.” (QS. At-Taubah: 101).

Tanpa perlu mengurai dan membeberkan kisah-kisah memilukan perlakuan negatif, sikap sinis dan abai sebagian orang hipokrit, para “penumpang gelap” terhadap Nabi, yang seolah diposisikan sebagai manusia lugu dan tidak mengamati konspirasi, tragedi Asyura dan revolusi Al-Husain cukup membuka mata hati dan nalar untuk mengungkap itu semua.

Al-Husain menjadikan Karbala sebagai ajang pembuktian kegagalan konspirasi-konspirasi itu dan Asyura sebagai momentum menyampaikan pertanggungjawaban yang akan menembus lorong-lorong waktu dan mengiang-ngiang sepanjang sejarah.

Perburuan, pencegatan, pengepungan, pengeroyokan dan pembantaian tragis yang dialami Al-Husain bersama putra-putra dan para pengiikutnya menyadarkan kita, yang beragama dengan nalar, bahwa tuduhan “Muhammad SAW sengaja membangun kekuasaan demi kesejahteraan keluarga dan para pendukungnya yang setia” rontok total.

Al-Husain meninggalkan Madinah dan menanggalkan hak-hak istimewanya demi membuktikan bahwa cucu Muhammad SAW melanjutkan pengorbanan segala yang personal dan material demi misi impersonal. “Bila agama kakekku menuntut tumbal, ambil nyawaku dan cabik-cabik tubuhku dengan pedang-pedang kalian!” adalah deklarasi kesetiaan dan keputusan memilih derita, bukan kuasa dan sejahtera.

Dengan memilih piknik menuju ladang genosida, Al-Husain tidak hanya menggoyang mindset materialisme dan hedonisme, tapi telah menampar benak kita semua bahwa Muhammad telah mengajarkan bahwa keluarganya harus berada di urutan pertama dalam duka dan harus rela berada di nomer terakhir dalam antrian suka dan kesejahteraan.

Pekik “Pantang Hina!” menggelegar membumbung ke angkasa, mengguncang istana emperium Arab di Damaskus, menembus lorong-lorong waktu dan mengiang-iang lestari dalam relung sanubari jejiwa merdeka di sentero buana… Pantang Hina! M e r d e k a!!!

Read more