Sebagian besar kezaliman dan kejahatan memerlukan objek alias mangsa. Pelaku kerap menggunakan segala macam cara dan sarana agar mangsa tak merasa dimangsa.
Agama adalah sarana paling efektif untuk membuat korban merasa berbuat secara sukarela. Padahal faktanya itu adalah pemaksaan.
Ironisnya, agama yang dijadikan sarana tersebut sudah dimodifikasi dan dihadirkan secara manipulatif. Sebagian besar pelakunya tidak benar-benar kompeten dalam bidang agama.
Perbuatan nista yang dibungkus agama adalah aksi nyata mencemooh Tuhan.
Ateis secara praktikal menghentikan perbuatan-perbuatan buruknya bila kehilangan kesempatan atau terhalang atau tertangkap, bukan karena kesadaran.
Agama dihadirkan tidak untuk mengajari manusia tentang baik dan buruk, karena akal sehat mengenalinya. Ia dihadirkan untuk mengajarkan manusia cara menjadi baik dengan kesadaran akan balasannya.
Kezaliman terhadap orang lain, termasuk orang yang terikat hubungan dekat bukan “masalah internal” yang tidak boleh disampaikan dan dikonsultasikan guna mencari solusi adil kepada orang terpercaya dan bijak, karena keadilan dan kezaliman adalah masalah kemanusiaan, bukanlah masalah pribadi atau keluarga.
Setiap orang yang merasa terzalimi berhak bahkan wajib mencari keadilan. Bila tidak, pelaku tidak sadar dan yang terzalimi beranggapan Tuhan mengabaikannya.
Perbuatan buruk bukan hanya yang diketahui atau disadari buruk. Bila kesadaran menjadi syarat sebuah perbuatan dianggap buruk, maka kebodohan menjadi cita-cita setiap orang.
Ia buruk karena melanggar agama dan norma, dengan atau tanpa pengetahuan dan pengakuan pelakunya.
Saking jelasnya arti kezaliman, setiap pelakunya sadar tentang itu sebelum melakukannya. Namun karena kepentingan atau kesenangan sewaktu menurutnya lebih nyata dari kesenangan kelak, dia mengabaikannya.
Kesenangan sewaktu tidaklah lestari bahkan kerap berujung malu sepanjang hidup. Saat itu penyesalannya pun sia-sia. karena dia dihentikan oleh malu dan hukum, bukan kesadarannya tentang kesejatian hari pembalasan. Meski dikenal beragama, faktanya ia adalah ateis praktikal.
Kezaliman yang dilakukan bersama-sama kerap tak terasa sebagai kezaliman, bahkan kadang terasa sebagai kebaikan. Bila diulang terus menerus bisa mengubah standar nilai dan moral masyarakat. Bila itu terjadi, pihak yang masih memegang standar linai sebelumnya justru terlihat aneh dan menyimpang. Begitulah proses transformasi nilai dan budaya dalam masyarakat.