AWAM YANG BERTANGGUNGJAWAB

AWAM YANG BERTANGGUNGJAWAB
Photo by Unsplash.com

Sebagian orang keburu sinis bila tema kompetensi dan otoritas diketengahkan karena keburu menuduhnya sebagai pembatasan hak dan pengekangan kreativitas atau menuduhnya sebagai dominasi. Padahal kompetensi dan otoritas dalam bidang-bidang pengetahuan bisa diperoleh oleh siapa saja yang mau bekerja keras untuk memperolehnya.

Kompetensi dan otoritas (legitimasi) dalam bidang agama yang meniscayakan kepatuhan tak didasarkan pada penerimaan umat. Kewenangan seorang nabi terbentuk dan diperoleh karena penunjukan Tuhan meski publik tak mengakui bahkan menolaknya.

Tanpa dasar pemahaman rasional sebagai hasil dari usaha inteleksi sendiri tentang kewenangan (Ketuhanan), pengamalan agama menjadi sia-sia. Umumnya, perintah dan anjuran serta nasihat juga teguran yang kerap diulang-ulang para narator info agama tak direspon secara aktual karena publik tidak (tidak pernah) diberi premis-premis rasional yang dapat dijadikan sebagai bahan atau data fundamental tentang prinsip-prinsip logis kemestian kebertuhanan (dengan prinsip-prinsip turunannya yang integral, kewenangan dan kebangkitan) yang meniscayakan kepatuhan. Karenanya, ajaran bukan ilmu rembukan. Hanya orang-orang yang secara faktual diketahui kualifikasi dan keahliannya yang berhak menjelaskannya dari sumber-sumber utamanya.

Andai pengetahuan tentang apapun bisa diperoleh oleh setiap orang tanpa belajar (tanpa melakukan serangkaian inteleksi dan mengesampingkan ego, kesenangan dan lain-lain), tentu kompetensi dan otoritas tak diperlukan, bahkan tak perlu sistem, struktur dan hierark bahkan tak perlu agama, juga tak perlu lagi pakar, dokter, ahli hukum dan tak presiden, tak perlu imam faqih, ulama juga, masyarakat dan umat yang sebagian besarnya adalah awam.

Menjadi awam atau menyadari batas kemampuan dengan mengambil posisi penerima atau penyimak atau murid atau awam bukanlah kehinaan. Menjadi narasumber juga bukan kemuliaan. Kehinaan dan kemuliaan ditentukan oleh keihlasan dan kerendahan hati serta komitmen mengamalkan apa yang diketahui.

Awam adalah kata serapan Arab "Al-awam" (عوام) berasal dari kata am (عام) yang berarti umum (mayoritas). Pasangannya adalah khawash (خواص) berasal dari kata khas (خاص) yang berarti khusus (minoritas). Ringkasnya, awam adalah sebagian besar masyarakat, sedangkan khawash adalah sebagian kecilnya.

Mayoritas dan minoritas dalam konteks pelaksanaan hukum agama diasosiasikan dengan kualitas berupa kompetensi dan kapabilitas dalam memahani hukum agama, bukan kuantitas.

Seseorang yang merupakan salah satu umat atau awam harus mencari alasan logis untuk menyelidiki fakta ke-agamawan-nya agar percaya tentang kompetensi dan kewenangan serta merujuk kepadanya dan melaksananya secara benar menurut aturan yag berlaku umum.

Ada dua macam pola hubungan antara awam dan faqih

a) Hubungan umat (mukakallaf) dengan faqih yang mempunyai kompetensi. Dalam konteks ini, asas hubungan ini adalah keunggulan kompetensi (dalam bidang penyimpulan hukum dari sumber teks suci) seperti hubungan pasien dengan dokter yang dianggap unggul di antara semua dokter yang diketahuinya. Dengan kata lain, awam merujuk kepada faqih atau mujtahid sebagai referensi (marja’).

b) Hubungan umat dengan faqih yang mempunyai kompetensi dan otoritas. Dalam konteks ini asas hubungan ini adalah legitimasi yang membuahkan kepatuhan, yaitu hubungan umat dengan pemegang kewenangan yang diperolehnya secara vertikal dari Tuhan melaui Nabi dan imam suci (sesuai mazhab Ahlulbait).

Yang perlu diketahui adalah hal-hal sebagai berikut:

  1. Sekadar dipanggil ustadz, ulama, alim, kyai dan sebutan lainnya atau digemari atau diikuti oleh banyak orang atau mengklaimnya tidak berarti memang kompeten dalam pengetahuan agama.
  2. Seseorang yang memang kompeten di sebuah bidang agama tak serta merta kompeten di semua bidang agama, apalagi tak terbukti punya kompetensi dalam sebuah bidang.
  3. Semua ahli agama (yang kompeten) bisa disebut ahli agama atau alim juga ulama (jamak alim) dan dipanggil dengan aneka sebutan. Tapi hanya yang kompeten dalam bidang fikih (disebut faqih) yang punya kompetensi dalam penyimpulkan hukum atau mujthid.
  4. Tak semua faqih (kompeten) punya otoritas dan kewenangan untuk dipatuhi. Sebagian faqih adalah rujukan dalam penyimpulan hukum agama karena memenuhi syarat kompetensi dan kualifikasi. Tapi hanya seorang faqih di antara seluruh faqih yang punya kompetensi plus otoritas untuk dipatuhi.
  5. Tak semua masalah hukum harus diambil dari ahli fikih yang kompeten. Hanya hukum-hukum zhanni (spekulatif) yang harus didasarkan pada hasil penyimpulan ahli fikih yang kompeten.
  6. Tak semua info dan pengetahuan agama harus diambil dari agamawan kompeten. Banyak hal logis dalam agama yang bisa dipelajari dan dipahami secara autodidak.

Kepatuhan

Kepatuhan individu umat kepada ahli agama yang terbukti kompeten mengharuskannya mengambil beberapa keputusan logis sebagai berikut:

  1. Memahami esensi kompetensi dan urgensinya. Dengan kata lain, tidak menjadikan selain kompetensi sebagai asas tindakan demi mengobati penyakit yang dideritanya, seperti asas kedekatan personal, harga murah dan lainnya kecuali dijadikan sebagai asas penunjang bagi asas kompetensi;
  2. Menerima konsekuensi dari esensi dan urgensi kompetensi. Dengan kata tidak lagi meragukan kompetensinya meski belum tentu produk ajaran agana yang disimpulkannya tepat atau sesuai kehendak Tuhan dan Nabj di balik teks yang dipelajarinya, apalagi ikut memberikan saran pandangan hukum kepadanya tanpa bekal pengetahuan;
  3. Mengambil langkah dan bertindak sesuai asas kompetensi. Dengan kata lain, mengambil tindakan yang dapat menjamin kemungkinan terbesar bagi pelaksanaan ajaran agama sesuai asas kompetensi.
  4. Memastikan kompetensi sebagai sesuatu yang gradual. Dengan kata lain, mencari dan menentukan ahli agama yang paling unggul dalam kompetensi demi menjamin kemungkinan terlaksananya ajaran agama secara benar sesuai prosedur yang ditetapkan rasio atau agama atau disepakati para agamawan.

Read more