Ayo Tolak Ide Pembubaran KPK!
Tepatlah apa yang digambarkan anggota DPR dari FKB Mahfud MD, jika DPR menyetujui pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tamat sudah riwayat pemberantasan korupsi di negeri ini. Ada apa dengan KPK? Pertanyaan itu mestinya sudah terjawab oleh berbagai penilaian tentang lembaga tersebut, sejauh ini.
Terlepas dari kekurangan-kekurangan yang secara alamiah masih melekat, KPK telah menebarkan ketakutan lewat langkah-langkahnya yang tak kenal kompromi terhadap para pelaku tindak pidana korupsi. Ketakutan itulah yang rupanya menjadi pangkal beragam penilaian untuk menggiring ke wacana pembubaran.
Polemik berupa penilaian-penilaian yang memojokkan KPK kita lihat sebagai pertarungan politik, dan sekali lagi pangkalnya adalah rasa takut terhadap kiprah lembaga tersebut -- yang melewati kredibilitas badan-badan reguler penegakan hukum. Kita merasakan stigmatisasi secara gencar bahwa KPK belum efektif dan melakukan tebang pilih dalam penanganan kasus-kasus korupsi, juga tidak berani merambah instansi penting seperti Istana Negara, Mabes TNI/ Polri, dan lingkaran keluarga Cendana. Sebanyak 160.000 laporan masyarakat masuk, 16.000 bisa ditindaklanjuti, dan dalam setahun baru bisa diproses sampai tuntas 25 perkara.
Sinyalemen Mahfud tentang wacana pembubaran KPK yang sudah merambah gedung DPR sangatlah mencemaskan. Argumentasinya, bukankah seluruh produk hukum hakikatnya adalah produk pertarungan politik? Siapa atau kelompok mana yang memenangi pertarungan akan mempunyai kesempatan melahirkan produk hukum. Selama ini KPK merupakan harapan utama untuk memuarakan penanganan kasus korupsi yang kurang tersokong oleh "tenaga" badan peradilan reguler. Apa jadinya kalau eksistensinya malah digerogoti lewat pressure opini, lalu digiring ke ranah politik dengan wacana pembubaran melalui pintu masuk legislatif?
Kita tetap memandang sangat penting keberadaan KPK dengan segala kekurangannya daripada semua proses penegakan hukum kejahatan korupsi di-cover oleh badan peradilan reguler. Sifat keluarbiasaan korupsi memerlukan penanganan yang juga extra ordinary, dengan orang-orang pilihan, karena kita menghadapi tuntutan bukan saja tindakan represif atas ribuan perkara yang sudah terjadi, tetapi juga tindakan preventif yang dibangun melalui proses dan produk hukum peradilan korupsi. Vonis yang memberi pelajaran dan terapi, itulah hakikat sikap preventif yang sekaligus mendorong membangun budaya antikorupsi.
Betapa ironis. Atas nama kelancaran proyek-proyek pembangunan banyak intervensi elite kekuasaan untuk membangun opini bahwa penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi justru menjadi penghambat. Pembangunan budaya antikorupsi pun seolah-olah berhadapan dengan rongrongan politis para elite yang seharusnya memperkuat keberadaan KPK. Tentu sangat memprihatinkan kalau pintu masuk yang mestinya menjadi supporting point malah menjadi legitimasi penggembosan. Pemberantasan korupsi membutuhkan kehendak politik yang kuat. Harus digarisbawahi, kehendak rakyat itu mestinya terepresentasikan di gedung DPR!
Pintu masuk itu sangat mungkin akan selalu terganggu oleh kepentingan-kepentingan yang bermain di DPR. Kita pahami, banyak kader partai politik yang terjerat kasus dugaan korupsi, tetapi ketika kepentingan parpol mewarnai wacana dan apalagi memengaruhi proses-proses legislasi yang menghasilkan produk hukum, dapatlah kita bayangkan apa yang akan terkorbankan. Keberadaan KPK mesti dipertahankan, bahkan mutlak harus diperkuat. Ketakutan yang ditebarkan, dan harapan besar masyarakat terhadap KPK membuktikan eksistensi lembaga ini sudah sangat dirasakan untuk menembus kebuntuan dan kebekuan penegakan hukum. (tajuk Rencana – Rakyat Merdeka)