Skip to main content

Suatu hari saya menjadi turis dadakan di Denpasar dan menjadi tamu di rumah teman di lingkungan warga pengikut Hindu.

Dari perbincangan dengan teman saya yang telah bermukin di Denpasar lebih dari 20 tahun itu saya bisa merasakan dan “memaklumi” fenomena dominasi mayoritas di setiap daerah.

Agama apapun berdiri di atas banyak elemen. Salah satunya adalah ritus atau ritual atau upacara. Mungkin ritual dalam agama Hindu, terutama Hindu Bali, tergolong unik dan kompleks. Ritual berarti serangkaian aktivitas metafisik dengan peraturan dan tata cara tertentu. Di dalamnya ada mantra, doa-doa yang dilantunkan dengan bahasa khusus, nada khusus dalam waktu khusus dengan tujuan khusus.

Salah satu ritusnya adalah Trisandya atau Puja Trisandya. Ia adalah mantram dalam agama Hindu khususnya bagi umat hindu di Bali dan umat Hindu di Indonesia pada umumnya. Mantram Trisandya dilaksanakan untuk persembahyangan 3 ( tiga) kali sehari yaitu pagi siang dan sore hari. Bait pertama dari trisandya adalah berasal dari Gayatri Mantram yang tertuang dari Veda.

Ada aroma kemenyan atau dupa khas peribatan Hindu yang mungkin mengusik hidung orang yang tak terbiasa, apalagi tak seagama. Aroma itu bagi sebagian orang non Hindu yang hidup di Bali tetaplah menyengat. Namun kesadaran posisi sebagai minoritas mengalahkan tajamnya aroma dupa itu.

Azan (ejaan KBBI) atau adzan (Arab: أذان) merupakan panggilan bagi umat Islam untuk memberitahu masuknya salat fardu.

Tak dipungkiri, suara fals atau nada buruk dan volume tinggi yang kadang melampaui batas waktu wajar yang bergema dari speaker masjid kadang cukup menganggu banyak orang, termasuk yang beragama Islam, apalagi yang tak sekeyakinan.

Tak suka suaranya yang fals, nadanya yang buruk dan volumenya yang tinggi? Perlu kesadaran menjaga hak publik. Bila tetap tak tertib, pihak otoritas perlu membuat regulasi pembatasan seraya tetap mempertahankan fungsinya sebagai ritual pengumuman tibanya waktu shalat dan undangan melaksanakannya.

Azan dan trisandya adalah ritual sakral dua agama yang berlainan. Keduanya harus dihormati. Tapi ia juga harus dilantuntkan dengan menghormati hak publik dan mempertimbangkan keragaman.

Terlepas dari itu, ibadah memang sebaiknya dilakukan dengan khidmat dan keheningan yang mencerminkan kesopanan di hadapan Tuhan. “Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah.’ (QS. Al-A’raf : 205).