Back to Nature

Back to Nature
Photo by Unsplash.com

Menjelang Lebaran, bukan mesjid yang bertambah ramai, namun pasar dan pusat perdagangan yang kian berjubel pembelinya. Apalagi bagi yang sudah menerima THR akan berhasrat lebih besar untuk memenuhi segala keinginan dan kebutuhan menjelang Lebaran sambil pamer saat mudik. Hampir tidak ada mal yang tak luput dari penuh-sesaknya para pengunjung. Entah cuma buat window shopping, rekreasi, makan, nonton, atau belanja. Ternyata yang berhari raya adalah para cukong…

Belanja, saat ini, sudah berkembang menjadi sebuah gaya hidup pada masyarakat kelas ekonomi tertentu dari segala usia. Dan, sebagai gaya hidup, belanja manusia modern seringkali tidak berhubungan dengan “apa yang dibutuhkan” tapi dengan “kutahu apa yang kumau”. Dengan kata lain, ia satu bentuk penegasan status sosial.

Dalam konteks seperti itulah, belanja amat erat dengan perilaku konsumtif. Perilaku konsumtif sebenarnya menjelaskan keinginan seseorang mengonsumsi barang yang kurang dibutuhkan, lalu ia membeli secara berlebihan untuk mencapai pengakuan sosial tadi.

Bila perilaku konsumtif didukung oleh persediaan dana yang cukup, sebenarnya masih "wajar". Yang berbahaya, jika keinginan berbelanja tidak didukung oleh penghasilan yang layak. Analoginya seperti rumah yang lebih besar pasak daripada tiang. Dapat dipastikan cepat atau lambat rumah itu akan roboh dan menimpa diri kita sendiri. Di sinilah fenomena korupsi mendapatkan “justifikasinya” sebagai satu jalan pintas menuju status sosial yang diinginkan.

Saat ini memang kita diserbu oleh segala jenis media dari segala penjuru. Iklan berbagai macam produk dengan berbagai cara dan gaya membuat pikiran kita selalu dicuci oleh para produsen barang-barang tersebut. Hampir tiada ruang dan waktu yang kosong dari iklan.

Para produsen pun berlomba-lomba membuat iklan kreatif yang memancing keingintahuan kita. Mereka menggoda kita untuk mencobanya, kemudian membeli, dan akhirnya menjadi pelanggan. Memang berat bagi kita untuk menolak keinginan memiliki barang-barang yang diiklankan di berbagai media.

Stasiun televisi saat ini penuh dengan berbagai tayangan iklan yang menawarkan bermacam produk. Mulai produk-produk fashion, kecantikan, makanan, hingga tempat hiburan. Belum lagi majalah-majalah remaja yang makin banyak. Semuanya secara perlahan-lahan namun pasti, menuntun kita memasuki budaya konsumerisme. Contoh paling sederhana adalah handphone. Fungsi handphone sesungguhnya adalah sebagai alat komunikasi. Namun, saat ini handphone tidak hanya sebagai sarana komunikasi, tapi telah menjadi semacam tolak ukur keberhasilan atau bahkan image seseorang. Seseorang yang sering tampil dengan handphone model baru dianggap wah. Padahal semua itu adalah semu. Saat ini banyak pengguna handphone berharga jutaan rupiah namun kalau diamati pulsanya, mungkin rata-rata kurang dari 100 ribu per bulan atau bahkan sering kehabisan pulsa.

Perilaku konsumtif secara berlebihan tidak hanya berdampak kepada kesehatan keuangan, namun juga dapat berdampak pada aspek psikologis, sosial, atau bahkan etika. Tidak sedikit orang yang merasa frustrasi karena tidak mampu memenuhi segala keinginan dan kurang mensyukuri keadaan. Sudah sewajarnya kita bersiap diri terhadap bombardir pesan-pesan iklan yang menyerang setiap waktu. Iklan-iklan yang serba bagus, cantik, dan mewah itu memengaruhi alam bawah sadar, sehingga kita dapat masuk dalam lingkaran budaya konsumtif dan menjadi pandir karena tidak bisa menimbang keinginan dan kemampuan.

Ada dua  wilayah yang perlu kita perhatikan, yaitu lingkungan dan kemiskinan. Negara-negara kaya di Barat (hanya 20% dari populasi dunia) mengkonsumsi lebih dari 80% sumber alam dunia, dan menyebabkan ketakseimbangan dan kerusakan lingkungan, serta kesenjangan distribusi kesejahteraan. Kita patut cemas pada cara barang-barang kita dibuat. Juga banyaknya perusahaan-perusahaan besar yang menggunakan tenaga kerja di negara-negara berkembang karena murah dan tidak adanya atau lemahnya sistem perlindungan pekerja.

Bahan-bahan baku dan cara pembuatan yang digunakan untuk membuat barang-barang kita memiliki dampak buruk seperti limbah beracun, rusaknya lingkungan, dan pemborosan energi. Pengiriman barang-barang ke seluruh dunia juga menambah tingkat polusi.

Islam mewajibkan setiap orang membelanjakan harta miliknya untuk memenuhi kebutuhan diri pribadi dan keluarganya serta menafkahkannya di jalan Allah. Dengan kata lain Islam memerangi kekikiran dan kebakhilan.

Sebagaimana seorang muslim dilarang memperoleh harta dengan cara haram, maka dalam membelanjakannya pun dilarang dengan cara yang haram. Ia tidak dibenarkan membelanjakan uang di jalan halal dengan melebihi batas kewajaran karena sikap boros bertentangan dengan paham istikhla’ harta majikannya (Allah).

Sifat mubazir ini akan timbul jika kita merasa mempunyai harta berlebihan sehingga sering membelanjakan harta tidak untuk kepentingan yang hakiki, tetapi hanya menuruti hawa nafsunya belaka. Allah sangat keras mengancam orang yang berbuat mubazir dengan ancaman sebagai temannya setan.

Kini Idul Fitri datang , membawa semangat kefitrian dan sertifikat kemenangan dari perang melawan nafsu, dan menanamkan tekad yang dahsyat untuk mencapai kehidupan yang baik sepanjang tahun. Allah surat al Rum, ayat 30, yang artinya: Arahkanlah wawasanmu lurus kepada Agama Allah, selaras dengan Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai fitrah-Nya. Tidak ada sesuatu perubahan dalam ciptaan Allah tadi. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

Semoga sikap boros dan konsumerisme tidak menodai kekudusan Hari kemenangan, Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin. ( www.adilnews.com)

Read more