Skip to main content

Dalam bahasa Arab, kata haq mencakup arti benar dan kebenaran. Haq dalam bahasa Arab, seperti hak dalam bahasa Indonesia berarti keabsahan. Ia adalah nilai kesempurnaan yang paling utama dan harapan sentral manusia. Saking mulianya, semua orang berbuat dengan alasan itu.

Meski umat manusia sepakat kebenaran sebagai nilai termulia, sampai saat ini benar & buruk masih jadi sengketa para agamawan dan filosof. Sengketa benar dan salah bermula dari perbedaan definisi, banyaknya metode identifikasi, keragaman dimensi dan cakupannya.

Isu benar dan salah dibahas secara luas dalam epistemologi dan ontology bergantung sudut pandang yang digunakan.

Menurut empirisme, kebenaran adalah hasil korespondensi subjek-objek via sensasi. Bagi mereka, kebenaran semata-mata bersifat material.

Menurut para mistikus, intuisi adalah sarana menentukan kebenaran. Metodenya adalah penyucian hati melalui sair suluk.

Para rasionalis menetapkan rasio sebagai alat penentu kebenaran. Bagi mereka, kebenaran adalah produk penalaran silogisme.

Positivisme beranggapan bahwa kebenaran bersumber dan berpangkal pada realitas.Yang dimaksud realitas adalah objek material natural.

Itulah sekelumit tentang pendapat-pendapat tentang kebenaran dalam epistemologi. Kebenaran epistemologis berada dalam domain konsep dan subjek.

Dalam ontologi dan kosmologi, kebenaran diasosiasikan dengan realitas. Menurut materialisme kebenaran adalah realitas material. Di luar akademi, sebagian orang memaknai kebenaran sebagai doktrin; dan sebagian menganggapnya sebagai premis apriori dan aposteriori.

Dalam masyarakat agama, ada dua kelompok.
Pertama menganggap wahyu sebagai kebenaran mutlak. Kedua meyakini penafsiran terhadap wahyu sebagai kebenaran mutlak.

Kebenaran dalam mindset kelompok kedua inilah yang umumnya dianggap sebagai opini dominan msayarakat Muslim oleh masyarakat Barat.

Kelompok penyembah teks ini menganggap kebenaran adalah yang dipahaminya dari teks suci Quran dan hadis yang diterimanya. Para pengikutnya sangat kaku dalam melaksanakan hukum agama berdasarkan denotasi teks karena dijejali doktrin anti rasio. Karena yakin bahwa pemahamannya tentang Quran dan hadis sama dengan yang diterima Nabi, penafsiran lain dianggap sebagai kekufuran dan kesesatan. Skripturalisme telah menjadi sumber ekstremisme dan intoleransi serta agresi adalah pemasok alasan banyak Muslim eksodus. Doktrinnya yang serampangan tentang jihad dan amar makruf nahi mungkar juga berperan menyebarkan phobia di kalangan non Muslim.

Ironis! Masyarakat awam termasuk yang terdidik secara sekular (yang memisahkan saint dan agama) menganggap agama sebagai doktrin tanpa logika. Akibatnya, kejumudan inilah yang kerap dianggap sebagai relijiusitas yang konsisten dan kesalehan yang sesuai ajaran Quran & hadis.
Inilah teologi horor yang mengganti dialog dengan pembubaran & toleransi dengan pengkafiran. Andai inilah agama, meninggalkannya bisa dimklumi.

Skripturalisme telah mengubah karakter masyarakat ketimuran yang santun dan toleran jadi beringas, sarkastik dan pongah dengan truth claim. Inilah teologi teror karya bareng rezim tribal di Timteng dan sentra-sentra kolonialisme demi melestarikan distabilitas umat. Dengan jargon “kembali ke salaf”, eksploitasi simbol Mekah dan dana, sekte gurun ini bak semut marabunta menerjang budaya & tradisi. Seraya bertaqiyah (meski ngaku anti taqiyah) dengan mengaku sunni, mengadudomba sesama pecinta maulid & tradisi sufi dengan fitnah sektarian.
Dalam waktu yang singkat, ratusan orang miskin yang polos diserbu, dikepung, dibakar rumah dan lalu diusir hanya karena hasutan kelompok ini. Kini propaganda pengkafiran itu menasional berkat kegamangan pengucap-pengucap sumpah jabatan dan licence to kill (fatwa) para agamawan.
Mangsa-mangsa pengkafiran tak balas dengan pengkafiran, tak mengemis iba, tak menunggu empati. Kebenaran terhimpit yang terpengaruh dan yang acuh.