Pada 8 Oktober lalu harian Jawa Pos menurunkan artikel “Cinta Tak Terbalas RI-Timteng” yang ditulis oleh Fatkurrohman SIP Msi. Tulisan ini adalah tanggapan yang berusaha mengklarifikasi sebagian isinya.
Seperti biasanya, artikel itu dimulai dengan penjelasan tentang informasi terakhir yang diterima penulis tentang angka kerusakan dan jumlah kematian, orang hilang dan luka. Sedemikian dahsyatnya bencana yang mengguncang bumi Minang itu sehingga banyak negara yang terketuk hatinya. Penulis menyebut sejumlah negara seperti Singapura, Rusia, Jepang, Australia, Denmark, dan Amerika Serikat. Ternyata penulis artikel tidak sedang memberikan contoh negara-negara yang bersimpati dan berempati, tapi malah terkesan sedang menjadikan data-data yang diterimanya itu sebagai justifikasi untuk memberikan penilaian yang beraroma generalisasi penilaian negatif terhadap negara-negara Timur Tengah terkait gempa Sumatera Barat.
Dengan bekal data terbatas yang dimilikinya ia terlihat menggiring pembaca artikelnya, untuk menjadikannya sebagai postulat yang (diharapkan) menjadi semacam proposisi apriori. Beliau tidak berusaha untuk lebih berhati-hati memilih diksi apalagi berkaitan dengan masalah sensitif yang bisa mencedarai hubungan antara negara kita tercinta dengan negara-negara dalam satu kawasan yang tersebar di Asia dan Afrika. Ia terlihat mengabaikan kejelian dan akurasi data saat menganggap negara-negara yang berjumlah sangat banyak itu dalam sekali “renteng” Timur Tengah yang akan dibungkus dengan kesimpulan “bahwa ikatan emosional antara Indonesia dan negara-negara di kawasan Timur Tengah kurang kuat.”
Artikel tersebut cukup bagus dan informatif terutama pada paragraf penguraian definisi Timur Tengah dan asal usul sejarah pembentukan istilah itu. Bayangkan dia telah berbaik hati menyebutkan nama-nama negara sebagai berikut Bahrain, Siprus, Mesir, Turki, Iran, Iraq, Israel, Jordania, Kuwait, Lebanon, Oman, Qatar, Arab Saudi, Syriah, Uni Emirat Arab, Yaman, dan Palestina. Ia juga tak lupa memberikan tekanan bahwa negara-negara tersebut dianggap memiliki dimensi penting, baik secara agama, wilayah, maupun bahasa.
Sayangnya, selain tidak menyebutkan secara lengkap nama-nama negara dalam Timur Tengah, dia tidak menyertakan data akurat tentang populasi dan tingkat ekonomi masing-masing negara tersebut dan hubungan bilateral perdagangan Indonesia dengan setiap nama negara tersebut. Mari kita uraikan satu demi satu. Palestina, misalnya, sebagaimana diketahui secara haqqul yaqin oleh penulis, adalah nama negara tanpa tanah. Penamaan itu mungkin bisa dianggap artifisial atau asumtif karena digunakan sebagai sebuah harapan akan terbentuknya sebuah negara yang benar-benar merdeka dan berdaulat bernama Palestina. Rasanya kurang tepat, bila jari telunjuk kritik itu ditujukan kepada rakyat yang sejak 61 tahun lebih hidup dalam pendudukan, genosida secara sistematis oleh Zionis.
Israel, sebagai sebuah “negara Eropa” yang didirikan di atas tanah Palestina, di mata umat Islam dan para penentang penjajahan adalah negara fiktif. Karenanya, sebagai negara yang menjunjung tinggi kemerdekaan Palestina, tidak menunggu bantuan darinya.
Contoh lain adalah Irak. Hampir semua di Tanah Air tahu bahwa negeri 1001 malam itu sejak tumbangnya Saddam Husein berada dalam genggaman militer Amerika dan sekutunya. Negeri yang kaya minyak itu berada dalam situasi politik dan ekonomi yang berantakan serta konflik sektarian yang diduga kuat sebagai skenario negara agresor. Puluhan ribu warga sipil tewas akibat pembantaian dan teror yang terjadi setiap hari di pelbagai daerah. Lagi-lagi, kurang pas bila rakyat yang sedang menderita itu juga diberi gelar “tidak peduli” terhadap penderitaan para korban gempa Sumbar hanya karena negara tersebut belum mampu memberikan bantuan finansial.
Nasib Lebanon, juga tak jauh berbeda dengan Irak. Negara yang diganggu oleh Israel ini baru saja masih berusaha merekonstruksi dan bangkit setelah digempur oleh Israel dan konflik internal yang berkepanjangan. Sebelum menggempur Gaza, Israel telah menyerbu Lebanon Selatan. Meski milisi Hezbolah berhasil mengusir Israel, wilayah selatan Lebanon rusak parah. Negara yang mengandalkan pariwisata dan pertanian ini sedang mengalami kesulitan finansial untuk merekonstruksi wilayah selatan akibat agresi Israel.
Turki, meski dihuni oleh mayoritas Muslim, mungkin lebih tepat bila tidak dimasukkan dalam kawasan Timur Tengah. Penulis mungkin perlu melengkapi data tentang kepedulian negara yang didirikan oleh Kemal Ataturk ini di Aceh. Google mungkin bisa menjadi mesin pencarian data yang lumayan murah dan cepat tentang itu. Kurang bijak rasanya bila kita menutup mata dari kiprah negara dan sejumlah NGO Turki yang membangun dapur raksasa di Aceh setelah didera bencana tsunami.
Contoh lain adalah Siprus. Kalaupun Wikipedia memasukkanya dalam kawasan Timur Tengah, negara yang terbelah dua antara etnis Yunani dan Turki ini tidak memiliki ikatan emosional, baik agama maupun bahasa dengan Indonesia, sebagaimana klaim penulis.
Yang mungkin perlu segera diralat adalah penyebutan Iran dan Qatar. Iran terbukti aktif memberikan bantuan finansial, makanan, medis, logistik dan relawan kemanusiaan melalui Bulan Sabit Merah dalam bencana tsunami Aceh dan gempa Jogjakarta. Tentang partisipasi Iran dalam memberikan bantuan finansial, makanan logistik dan relawan dalam gempa Sumatera Barat, penulis mungkin terburu-buru menjatuhkan vonis. Sebagaimana dikutip sejumlah media cetak dan elekronik. Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad, sebagaimana dikutip Vivanews 15 Oktober, mengirimkan surat belasungkawa kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selain itu, Kedubes Iran juga mengungkapkan bahwa Yayasan Sosial Imam Khomeini (Imam khomeini Relief Foundation) mengalokasikan bantuan uang tunai untuk daerah-daerah yang mengalami gempa bumi di Indonesia. Bantuan itu sebesar Rp 550 juta. Pada saat yang sama, Bulan Sabit Merah Republik Islam Iran juga telah mempersiapkan bantuan non-tunai sebesar 33 ton. Bantuan itu terdiri dari berbagai komoditas berupa tenda, tikar, makanan dalam kaleng, bahan-bahan pembersih, dan lain-lain.
Lagi-lagi, penulis kurang akurat tentang Qatar. Vivanews pada hari diterbitkannya artikel berjudul “Cinta Tak Terbalas RI-Timteng” (Kamis 8 Oktober), melaporkan sebagai berikut: “Pemerintah Qatar memberikan bantuan berupa bahan makanan, obat-obatan dan pakaian, untuk korban gempa Sumatera Barat, Kamis 8 Oktober 2009. Bantuan senilai Rp 10 miliar itu, akan di distribusikan ke Kota Padang, Tandike Pariaman, dan Gunung Sago Pariaman. Bahkan, dilaporkan pula “Tidak hanya logistik bantuan yang diberikan pemerintah Qatar juga berupa tenaga medis 30 orang, tenaga ahli dan 1000 tenda untuk warga yang belum memiliki tempat layak.”.
Seperti menjawab penilaian tergesa-gesa penulis artikel tersebut, sebagaimana dikutip Vivanews, Komandan, Khames M Al Moraiq, dari Internal Securty Force Qatar mengatakan, bantuan yang disalurkan untuk korban gempa sebagai bentuk kepedulian dan rasa persaudaraan agar lebih erat lagi diantara kedua negara.
Memang, mungkin tidak semua negara Timur Tengah diberitakan secara publik memberikan bantuan atau memang tidak turut berpartisipasi. Boleh jadi, bantuan-bantuan dari negara-negara Timur Tengah selain Emirat, Iran dan Qatar, masih akan terus berdatangan, karena proses pengiriman bisa memakan waktu yang cukup lama.
Terlepas dari itu semua, poin penting yang mesti diperhatikan ialah bahwa generalisasi penilaian negatif hampir selalu invalid apalagi bila tidak disertai dengan data yang memadai, bahkan bisa berbuah fitnah yang merugikan hubungan negara kita tercinta yang sedang berusaha bangkit dari keterpurukan ekonomi dengan mitra-mitranya dari banyak negara.
Bangsa Indonesia yang yang memiliki sikap positive thingking dan tulus, tentu pantang meremehkan bantuan negara lain, betapapun kecil nilai dan jumlahnya, karena yang terpenting adalah rasa kepedulian dan solidaritas.