Skip to main content

BAIAT KEBANGSAAN

By January 19, 2017No Comments

Manusia-manusia yang berbeda watak, keyakinan, etnis, daerah, tradisi, kepentingan sebagai individu atau komunitas hanya bisa hidup saling menunjang bila diikat dengan sebuah konsensus diatas asas yang diterima bersama.

Asas yang menjadi pengikat haruslah prinsip yang mengakomodasi kekhasan-kekhasab tersebut. Itulah kebangsaan. Meski sebagian orang menolak secara verbal, kebangsaan sebagai prinsip telah diterima secara faktual berupa respon setiap individu terhadap fakta sebuah bangsa.

Agama (Islam sebagai agama mayoritas) sering kali dibenturkan dengan kebangsaan. Boleh jadi, penolakan terhadap harmoni agama dan kebangsaan didasarkan pada beberapa alasan. Antara lain, 1) Pencampur-adukan pengertian ‘bangsa’ (qaum) dan pengertian ‘umat’ (ummah); 2) Trauma sejarah yang diakibatkan oleh prilaku kaum nasionalis yang cenderung sinis terhadap Islam atau sikap negative orang-orang yang mengaku beragama; 3) Ketidakmampuan membedakan antara kebangsaan yang berasis pada esksistensialisme dan nasionalisme yang didasarkan pada kewajiban syar’i (normatif dalam agama Islam) untuk membela kehormatan dan harta benda, termasuk wilayah tempat kita berada dan bermasyarakat.

Dalam bahasa Arab, ada dua kata yang terlihat mirip, yaitu ummah (umat) dan sya’b yang perlu dibedakan karena mengandung muatan yang memang berbeda. Sya’b dan qaum berarti sekumpulan manusia yang memiliki kepentingan temporal untuk memperthanakan kesamaan dalam sebuah sistem pemerintahan yang disepakati seraya menghargai keragaman etnis, budaya dan bahasa di dalamnya. Itulah sebabnya, ada sebutan kaum Musa, kaum Nuh dan sebagainya. Peran dan area kepemimpinan masing-masing nabi memang berbeda. Namun, umat Islam sejak Nabi Muhammad saw diutus tidak lagi disebut kaum Muhammad karena area kepemimpinan beliau bersifat universal menerjang batas-batas ke-kaum-an. Mereka disebut umat Muhammad (ummatu Muhammad). Meski demikian, nampaknya hal itu tidak secara otomatis menghilangkan ke-kaum-an (nationality) setiap Muslim. Kata sya’b (bangsa) pun memiliki cakupan yang lebih kecil dari umat. Itulah sebabnya, dalam bahasa arab tidak lazim kata ‘asy-sya’b al-Islami’. Karena itu, penggunaan istilah ‘Islamic Nation’ atau ‘Nation of Islam’ terasa dipaksakan.

Dalam literatur Islam, kata ummat secara etimologis dan semantik berasal dari kata imam, pemimpin keagamaan yang ditaati oleh muslimin di seluruh dunia. Umat adalah sekumpulan manusia yang mengikuti imam tanpa mempertimbangkan perbedaan kebangsaan, ras, daerah dan lainnya.

Pandangan ini memang secara tidak langsung mengkonfirmasi pemisahan agama dan negara. Tapi nampaknya dalam masayarakat yang heterogen, itu bisa dianggap opsi yang cukup logis.

Pengunaan agama tertentu atau pandangan kemazhaban dalam masyarakat majemuk sebagai dasar berbangsa akan mengantarkan negara ini ke dalam tirani atas nama agama atau mazhab. Lebanon, misalnya, yang secara konsitusional dibangun atas sistem pembagian kekuasaan berdasarkan etnik dan agama juga sekte, adalah negara yang tdk mungkin bisa diarahkan menjadi negara yang berasas satu agama apalagi mazhab.

Meski organisasi terbesar dan terkuat di Lebanon, Hezbollah bersikap rasional dan realistis dengan mentransformasi konsep atau strategi ideologisnya menjadi salah satu elemen dan gerakan politik yang selaras dengan realitas kemajumukan. Ia tak mengangkat jargon negara Islam di negara multi agama dan sekte itu, namun justru menjadi garda terdepan yang menjaga nasionalisme yang koheren dengan hak setiap komunitas melaksanakan keyakinannya dengan asas konstitusi.

Itu semua mengkonfirmasi pandangan logis bahwa mempertahankan konsensus dan kontrak sosial dalam bingkai kebangsaan tidak menafikan asas keumatan, karena Islam mengakui kebangsaan dan keumatan. Keterikatan pada prinsip ini adalah makna aktual dari baiat. Karenanya, baiat tidak lagi diperlukan.