Baitul-Muslimin PDIP: Siluet hijau dalam Kanvas Merah?
Pemilihan umum memang masih lama. Tapi kompetisi merebut hati pemilih tak kenal henti. Sejumlah partai pun mulai ancang-ancang melakukan konsolidasi dan perbaikan citra demi mendulang suara.
Hari itu, ratusan perempuan berkerudung riuh-rendah mengikuti acara salawatan. Kaum pria berpeci hitam pun tampak khusyuk menyimak puja-puji untuk Rasulullah dan keluarganya, yang meluncur melalui pengeras suara. Tak seperti biasa, bukanlah Kwitang atau Keramat—tempat tradisional kaum salawatan—tetapi justru dari Lenteng Agung-lah salawatan itu terdengar. Dan, yang punya hajat adalah DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bukan para ustad, kyai kampung, atau habaib.
PDIP, partai yang identik sebagai wadah asprirasi kaum abangan ini tampak sedang berusaha mencitrakan dirinya sebagai saluran politik yang siap menampung aspirasi kaum santri, dan menepis jauh-jauh stigma nasionalis-sekularistik, dengan mendeklarasikan sebuah organisasi sayap politik baru, bernama Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi).
Kali ini, partai berlambang banteng ini tidak setengah-setengah. Megawati Soekarnoputri, sang nahkoda, berjaya menghadirkan dua pemimpin ormas Islam terbesar di Indonesia, Din Syamsuddin (Muhammadiyah) dan Hasyim Muzadi (NU). Berbagai macam spekulasi pun mengemuka. Ada yang melihatnya sebagai sebuah kewajaran demokratis dalam iklim persaingan politik yang sehat. Namun, tak pelak, ada yang mempertanyakan ambivalensi dan inkonsistensi partai kedua terbesar ini dalam mempertahankan visi nasionalis mereka yang pluralis. Dari sisi agama, ada juga menganggap fenomena ini sebagai suatu eksperimen yang mengambil posisi tengah antara simbolisme dan substansialisme politik Islam.
Terlepas dari semua itu, fenomena banyak parpol yang berupaya mendekati umat Islam, sebagai mayoritas pemilih Indonesia, dengan menggunakan simbol-simbol Islam itu sendiri bisa ditafsirkan sebagai simplifikasi persoalan. PDIP sebenarnya tidak perlu cemas dan khawatir akan kehilangan suara umat Islam, sehingga harus potong kompas dengan masuk dalam permainan simbol, atau menorehkan sebuah ‘siluet hijau’ di tengah kanvas merahnya.
PDIP mestinya lebih tertarik mengutamakan substansi ketimbang simbol. Alangkah indahnya, bila partai yang tidak berkoar-koar atas nama ‘Islam’ tetapi menunjukkan keberpihakan kepada wong cilik, yang mayoritas justru beragama Islam. Sebuah partai bisa disebut ‘islami’ bukan karena maraknya simbol-simbol agama, berderetnya kaligrafi Arab, banyaknya kyai yang menjadi simpatisannya, atau peci yang menutupi kepala para fungsionarisnya, tetapi karena kinerja yang baik, aspiratif, bebas money politics, dan menjunjung etika berpolitik. Partai yang ‘islami’ adalah partai yang berdiri tulus di belakang kepentingan rakyat, bukan malah terinspirasi oleh low politics yang semata berambisi untuk memperkaya diri dan kroni.
Baitul Muslimin, atau apa pun namanya, mungkin lebih berguna bila tidak dikelola secara struktural oleh sebuah parpol. Paling tidak, peran dan manfaatnya akan lebih terasa tulus ketimbang belum apa-apa sudah tidak dianggap sebagai ‘kampanye prematur’.
Muslim Indonesia, karena kenyang dengan pengalaman politik aliran yang gemar mengusung simbol, justru makin cerdas dan tidak mudah tertipu oleh tampilan superfisial. Survei sebuah lembaga menyatakan bahwa mayoritas pemilih di Indonesia semakin tidak percaya terhadap partai-partai yang gemar bermain simbol Islam. Kenyataan tersebut menjadikan inisiatif PDIP untuk membangun Baitul Muslimin ini terasa tidak realistik, ahistoris, dan terkesan pragmatis. Belum cukupkah, bagi PDIP atau parpol-parpol lain, pengalaman Orba yang telah melakukan kesalahan fatal ketika mengeksploitasi simbol-simbol agama tanpa menunjukkan kinerja nyata dalam memihak kaum lemah, yang mayoritas Muslim?